Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
ADA peribahasa Jawa asu gedhe menang kerahe (anjing besar menang berkelahi). Bila dikontekskan dalam kontestasi politik, ungkapan tersebut kurang lebih bisa dimaknai bahwa yang memiliki kekuasaan besar pasti memenangkan pertarungan.
Ungkapan itu juga semacam pasemon (sindiran) bahwa yang ‘gedhe’ menang bersaing karena bisa leluasa melakukan apa saja (kecurangan). Kenapa bisa begitu, penguasa punya kekuatan (modal) melekat. Realita politik di mana pun seperti itu.
Dalam dunia wayang ada cerita demikian. Dasamuka selalu menang karena memiliki kekuasaan dan kekuatan besar. Ia bertingkah sekehendak hati, bahkan tega mengusir adiknya. Tapi betapa pun digdayanya, ia rubuh melawan kebenaran.
Menculik Sinta
Dasamuka dikodratkan menjadi anak pertama pasangan Wisrawa dengan Sukesi. Bersaudara tiga, yaitu Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Mereka semua lahir dan tumbuh di istana Alengka, negara berbala raksasa.
Ketika menginjak dewasa, Dasamuka diberi amanah menjadi raja menggantikan kakeknya, Prabu Sumali, yang lengser karena lanjut usia. Lelaki yang juga bernama Rahwana itu menjelma menjadi penguasa ambisius, ingin menggenggam jagat.
Tekadnya itu bukan ‘omon-omon’. Demi menggapai impian, Dasamuka mencari bermacam pusaka dan ajian untuk menjadi penguasa tak terkalahkan. Tersebutlah senjata candrasa, pedang mentawa, serta aji rawarontek dan pancasona yang membuatnya tidak bisa mati bila wadagnya masih menyentuh bumi.
Sebagai pemimpin, Dasamuka juga membangun kekuatan negara di semua matra. Alengka memiliki pasukan darat, laut, dan udara sangat kuat dengan panglimanya yang hebat-hebat, yakni Wilkathaksini, Garulangit, dan Yuyurumpung.
Jumlah prajuritnya pun terus bertambah. Tentu saja aparat negara tersebut, sesuai dengan sumpahnya, harus tunduk dan patuh terhadap panglima besarnya. Sewaktu-waktu mereka sendika (siap) digerakan oleh pemimpin dalam segala urusan.
Berbekal kesaktian dan kekuatan balanya itu, Dasamuka tiada henti meluaskan jajahan. Banyak negara yang bertekuk lutut tanpa ditaklukkan karena ketakutan. Sementara itu, para raja yang tidak menyerah dengan ultimatumnya, dihabisi.
Selain bernafsu menguasai jagat, Dasamuka terobsesi memiliki wanita titisan Dewi Sri yang diyakini sebagai penyempurna Alengka sebagai negara super power yang adil dan makmur. Sejak awal, ia memang terus memburunya meski selalu gagal.
Pada suatu ketika ia meyakini Dewi Sinta sebagai titisan Dewi Sri yang terakhir. Wanita cantik nan lembut itu kemudian diculik ketika sedang lelana brata (laku prihatin) di Hutan Dandaka bersama suami, Rama Regawa, ditemani adiknya, Leksmana Widagda.
Sinta lalu disembunyikan di Taman Argasoka yang sangat indah dengan harapan betah. Namun bertahun-tahun berlalu, perempuan berwatak setia itu tidak pernah membalas cinta Rahwana yang bermimpi menjadikannya sebagai permaisuri.
Gunawan bela Rama
Kumbakarna dan Gunawan mengkritik keras sepak terjang kakaknya. Apapun dalihnya itu salah. Selain melanggar norma, tindakan tidak beradab tersebut juga berpotensi besar mendatangkan bencana bagi Alengka. Mereka mendesak agar Sinta dikembalikan kepada Rama.
Dasamuka menyebut kedua adiknya goblok. Sinta bukan wanita biasa melainkan ‘pusaka’ yang bakal menjamin terwujudnya keagungan Alengka. Oleh karena itu, apapun risikonya dipikul. Jangankan insan, dewa pun diganyang bila menentang.
Kumbakarna mengingatkan bahwa Alengka bukan punya seorang. Semua anak Wisrawa-Sukesi juga memiliki hak dan bertanggung jawab terhadap keselamatan bangsa dan negara. Tidak boleh ada yang berbuat semau-maunya sendiri.
Belum selesai kesatria Pangleburgangsa itu bicara, Dasamuka membentaknya dan mengatakan bahwa dirinya yang menjadi penguasa. Siapapun boleh bicara dan berpendapat, tetapi keputusan di tangannya. Siapa yang tidak sejalan harus pergi.
Sikap sewenang-wenang itu memaksa Kumbakarna menahan napas. Marah tapi bisa dikendalikan. Tanpa mengurangi rasa hormat, ia kemudian pamit dan tidak akan cawe-cawe (bertanggung jawab) bila terjadi apa-apa yang menerpa Alengka.
Kumbakarna lalu pergi meninggalkan istana dan bertapa di Gunung Gohkarna. Dikisahkan, lelaki berwujud raksasa itu baru bangun dari semedinya menjelang Alengka rubuh digempur Rama Wijaya yang didukung bala wanara Goakiskenda.
Setelah Kumbakarna pergi, Gunawan mencoba mengingatkan kakak sulungnya agar menjaga kerukunan saudara. Tapi, bukannya sadar atau eling, Dasamuka malah bertambah murka. Si bungsu itu disemprot dan dipersilakan minggat bila tidak setuju.
Merasa sudah tidak nyaman lagi tinggal di istana, Gunawan juga mohon diri pergi. Sarpakenaka yang merajuki Dasamuka agar menjaga keutuhan keluarga, didamprat habis-habisan. Tidak memiliki saudara, tukasnya, ora patheken (tidak masalah).
Berbeda dengan Kumbakarna, Gunawan menyeberang dan bergabung dengan Rama. Menurutnya, ini langkah benar untuk membinasakan keangkaramurkaan Dasamuka. Prinsipnya, kebenaran harus dibela betapa pun berat pengorbanannya.
Rama beruntung Gunawan berpihak pada dirinya. Karena dari lelaki tampan dan pemberani itu didapat info tentang kelemahan Dasamuka serta seluruh panglima perangnya. Ini memudahkan Rama untuk menjemut Sinta dari genggaman musuh.
Akhirnya tumbang
Dalam cerita selanjutnya, Alengka digempur pasukan kera hingga hancur lebur. Dasamuka rubuh terhantam panah sakti Guwawijaya yang dilepaskan Rama. Anoman kemudian mengubur tubuh Dasamuka dengan dua gunung.
Rama yang melambangkan kebenaran membinasakan Dasamuka sebagai simbol keangkaramurkaan. Meskipun kesaktiannya tiada tanding tetapi bila perilakunya curang atau melanggar angger-angger (norma), pada akhirnya tumbang.
Hikmah kisah singkat ini ialah bahwa asu gedhe menang kerahe tidak berlaku jika berhadapan dengan kebenaran. Seberapa pun besar kekuasaan dan kekuatan, tidak berarti apa-apa bila tidak menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan kejujuran. ***