JATENG.NASDEM.ID – Pemilu Legislatif serta Pemilihan Presiden tahun 2024 yang digelar pada Februari lalu meninggalkan dampak bagi lingkungan berupa timbunan sampah alat peraga kampanye (APK) seperti baliho, spanduk, poster, dan rontek yang menggunung.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan setidaknya 748 ribu kubik atau 392 ribu ton sampah yang sebagian besar adalah sampah plastik dihasilkan dari proses demokrasi lima tahunan ini.
Hal ini tentu menjadi PR besar jika sampah-sampah ini tak bisa didaur ulang atau dimanfaatkan kembali. Selain berdampak pada pencemaran lingkungan, kampanye konvensional menggunakan baliho rentan merusak lingkungan jika dilakukan dengan memasang APK dengan paku di pohon-pohon.
Untuk itu, KLHK mengeluarkan Surat Edaran Menteri LHK Nomor 3 Tahun 2024 yang pada prinsipnya agar diupayakan secara maksimal dapat diolah (menjadi bahan baku daur ulang), sehingga seminimal mungkin ditimbun pada landfill system (TPA).
Saat ini masyarakat sebentar lagi akan menyambut adanya Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada beberapa bulan lagi. Meskipun tahapannya masih belum pada masa kampanye, namun ratusan bahkan ribuan baliho yang merepresentasikan tokoh secara personal sudah bertebaran di kota hingga ke pelosok desa.
Bukan tak mungkin, timbunan sampah yang dihasilkan saat Pemilu 2024 bakal terulang saat Pilkada 2024 ini. Untuk itu semua pihak harus memiliki visi yang sama untuk turut mengurangi sampah APK.
Bukan hanya dari pihak penyelenggara yaitu KPU, namun juga partai politik, calon kepala daerah, hingga para simpatisan harus sepakat bahwa cara kampanye model lama ini harus segera ditinggalkan.
Sebagai gantinya, berkampanye melalui media online lebih disarankan oleh berbagai pihak untuk mengurangi sampah APK. Hal ini seperti yang dilakukan oleh KPU Bali yang menyerukan agar partai politik dan peserta Pilkada tak menggunakan APK berupa baliho.
Pemanfaatan ruang digital merupakan solusi konkrit dari permasalahan sampah akibat pesta demokrasi. Selain itu, pertemuan dengan masyarakat secara langsung juga merupakan cara yang efektif dalam menggalang simpati.
Penggunaan media daring juga merupakan bentuk modernisasi serta kesiapan para peserta Pilkada dalam menghadapi perkembangan zaman. Terlebih lagi, sebagian besar pemilih merupakan millenial serta gen Z yang tentu saja lebih banyak menghabiskan waktu di sosial media.
Media daring dan sosial media juga membantu para peserta pemilu untuk memamerkan rekam jejak dengan lebih detail ketimbang APK berupa baliho.
Pada akhirnya, komitmen bersama untuk mengurangi sampah APK dengan berlih ke kampanye digital juga dapat dilihat sebagai komitmen penyelenggara serta peserta pemilu dalam menjaga lingkungan serta menciptakan green election.