Ditulis oleh Ono Sarwono (Sekretaris Dewan Pertimbangan DPW NasDem Jateng)
JUDI online menyubur. Konon, Indonesia juara dunia atau terbanyak pesertanya. Nilai uangnya mencapai ratusan triliun rupiah. Pemerintah akhirnya membentuk satgas mengatasi praktik ilegal yang berdampak banyak pada masalah sosial ini.
Ketertarikan orang berjudi tidak lepas dari mental. Hampir bisa dipastikan motivasi bermain judi itu karena ingin mendapatkan uang banyak dengan cepat. Ini mental menerabas yang disebut antropolog Koentjaraningrat sebagai potret buruk bangsa.
Fakta sejak jaman dahulu kala bahwa berjudi itu lebih dominan mudaratnya. Seperti yang dialami Raja Negara Amarta Puntadewa dalam cerita wayang. Gara-gara bermain judi akhirnya hidup menggelandang di hutan bersama keluarga.
Main dadu
Alkisah, raja Astina Prabu Duryudana terpikat dengan keindahan dan kemegahan istana Amarta alias Indraprastha. Muncul keinginan memiliki. Dipanggilah patih Sengkuni berdiskusi mencari jalan yang paling mudah untuk mengambil alih.
Ketertarikan Duryudana muncul kala memenuhi undangan Puntadewa hadir dalam perhelatan sesaji rajasuya. Itu acara syukuran Pandawa setelah usai membangun negara baru yang bernama Amarta. Keindahannya bak Kahyangan Kaindran.
Terlalu mudah bagi Sengkuni menemukan cara menguasai Indraprastha. Ia usulkan kepada Duryudana mengajak Puntadewa bermain dadu. Ini strategi paling mulus mengingat sulung Pandawa itu diketahui suka permainan itu sejak usia remaja.
Menurut perhitungan Sengkuni, dengan mencermati watak Puntadewa, sangat tidak mungkin ajakan bermain dadu ditolak. Lelaki lemah lembut tersebut pribadi yang selalu menghormati semua titah, apalagi kepada saudara yang lebih tua.
Dalam main dadu itu nanti, papar Sengkuni, dirinya yang akan memainkan taktik jitu sehingga Puntadewa dipastikan kalah. Karena targetnya menguasai Amarta, maka permainan diatur sedemikan rupa agar negara dijadikan taruhan.
Sasaran lain pemainan dadu itu Pandawa sirna dari muka bumi. Ini bagian upaya Duryudana melanggengkan kekuasaan atas Astina hingga turun-temurun. Karena, jika Puntadewa dan empat adiknya masih hidup akan membahayakan takhtanya.
Kenapa demikian? Pandawa ahli waris kekuasaan Astina. Mereka putra mendiang Prabu Pandu Dewanata. Duryudana (Kurawa) merampas dengan semena-mena. Jadi, untuk mengamankan kekuasaan, Kurawa mesti melenyapkan Pandawa.
Duryudana setuju gagasan Sengkuni, maka diundanglah Puntadewa ke Astina. Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa ikut menyertai. Singkat cerita, Puntadewa, yang sudah lama meninggalkan main dadu, bersedia meladeni ajakan Kurawa.
Pandawa dan Kurawa itu saudara sepupu. Pandawa ialah lima anak Pandu dengan dua istri, Kunti dan Madrim. Sedangkan Kurawa, berjumlah seratus orang, putra-putri kakak Pandu, Drestarastra, dengan Gendari. Mereka para cucu Abiyasa.
Hidup di hutan
Semula Puntadewa diingatkan empat adik agar menolak main dadu. Alasannya, itu akal-akalan Kurawa yang berniat jahat kepada Pandawa. Puntadewa mengatakan tidak baik bersuuzan, selain itu pantang baginya membuat saudara tua kecewa.
Benar adanya, Sengkuni yang bertugas sebagai pelempar dadu, menjadi ‘arsitek’ kekalahan Pandawa. Pada awalnya, yang hanya menyertakan taruhan uang receh, merembet hingga bernilai besar. Pandawa kehilangan semua harta bendanya.
Tidak berhenti di situ, istana Indraprastha pun berpindah tangan. Drupadi, istri Puntadewa, sebagai taruhan terakhir, juga menjadi milik Kurawa. Ibu negara itu lalu menjadi obyek pelecehan seksual ramai-ramai Dursasana bersama saudara.
Drestarastra murka mendengarnya. Kurawa dimarahi habis-habisan, begitu pula Sengkuni sebagai biang kerok masalah. Segala yang diakibatkan dari main dadu dibatalkan. Sambil meminta maaf atas perilaku anaknya, Drestarastra menyuruh Pandawa pulang ke Amarta.
Betapa kecewanya Duryudana atas keputusan bapaknya. Tidak lama kemudian diam-diam Puntadewa kembali diajak main dadu. Taruhannya bukan lagi harta benda melainkan hukuman. Pihak yang kalah menjalani hidup di hutan.
Usulan Sengkuni yang disepakati kedua belah pihak, hutan yang menjadi tempat ‘hukuman’ itu bernama Kamyaka. Lamanya selusin tahun dan ditambah satu tahun menyamar. Bila keberadaannya diketahui, mengulangi sanksi dari awal.
Main dadu jilid kedua kembali dimenangkan Kurawa. Pandawa harus pergi dari Amarta dan kesatrian masing-masing memulai babak baru tinggal di Kamyaka. Kurawa yakin Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mati konyol.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Duryudana atas arahan Sengkuni, berhasil merahasiakan permainan dadu babak kedua sehingga Drestarastra yang buta tidak mengetahui. Hanya ibunda, Gendari, yang tahu dan merestui upaya anak-anaknya.
Puntadewa meminta maaf kepada adik-adiknya atas perbuatannya sehingga hidup menderita di hutan tanpa harta benda apa-apa. Pun kepada Drupadi yang harus ikut memikul risiko hidup dalam kepapaan akibat perbuatan hina suami.
Drupadi meminta Puntadewa untuk tidak menyalahkan diri. Semua sudah terjadi dan dirinya berjanji akan tetap setia mendampingi hingga akhir hayat. Ucapan putri Pancala itu bagaikan sihir yang membangkitkan semangat hidup Pandawa.
Habitat orang sesat
Di tengah keharuan, tak terduga eyang mereka, Begawan Abiyasa, menghampiri. Mantan raja Astina yang lengser keprabon (turun takhta) menjadi petapa di Sapta Arga itu menasihati cucu-cucunya agar selalu eling dan berperilaku utama.
Sebagai kesatria itu mesti tahu dan memilah apa yang baik dan yang buruk. Bagaimanapun, bemain judi dalam segala bentuknya perbuatan nista yang harus disingkiri. Karena sudah berbuat, Pandawa mesti berani dan legawa menebus dosa.
Demikian kisah singkat lakon yang dijalani Pandawa akibat bermain dadu. Sebaik atau bahkan sebersih apapun hati seseorang, seperti halnya Puntadewa, tidak menjamin luput dari akibat buruk judi. Sesungguhnya judi itu habitatnya orang-orang sesat. ***