Ditulis oleh Ono Sarwono (Sekretaris Dewan Pertimbangan DPW NasDem Jawa Tengah)
DALAM kultur masyarakat kita ada istilah aji mumpung. Maknanya kurang lebih keberanian memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar dan menguntungkan untuk menggapai keinginan. Demikian itu terjadi dalam segala aspek kehidupan.
Misalnya di bidang politik, seorang anak mengambil kesempatan mencalonkan diri menjadi kepala atau wakil kepala daerah mumpung (selagi) ayahnya berkuasa. Dengan modal pengaruh bapaknya, peluang tercapainya keinginan lebih mudah.
Tetapi, hal itu tergantung orangnya. Tidak semua berwatak aji mumpung. Seperti Gunadewa dalam cerita wayang. Ia bisa saja menjadi penguasa bila menginginkan karena ayahnya seorang raja. Namun tidak demikian, karena ia menyadari kekurangannya.
Pertapaan Gadamadana
Alkisah, Raja Dwarawati Prabu Kresna dan permaisuri Jembawati bahagia ketika anak pertama mereka lahir. Namun, ada kekecewaan dan perasaan lingsem (malu) karena sekujur tubuh jabang bayi berbulu dan memiliki ekor panjang persis kera.
Sebenarnya, kondisi bayi itu tidak aneh karena gen-nya (faktor keturunan) memang berdarah wanara. Kakek dari garis ibu, Kapi Jembawan, berwujud kera. Semasa muda, Jembawan salah satu senapati Prabu Rama ketika menghancurkan Alengka.
Menurut layaknya sebuah kerajaan, putra pertama Kresna yang lahir dari permaisuri utama itu yang menjadi putra mahkota. Namun, bagaimana ketika anak tersebut kondisinya dianggap kurang sempurna dan tidak pantas menjadi raja.
Seiring berjalannya waktu, bayi yang diberi nama Gunadewa itu tumbuh menjadi anak yang pintar dan tampan. Ia memiliki adik kandung laki-laki yang bernama Samba alias Wisnubrata. Berbeda dengan kakaknya, tubuh Samba normal.
Selain dua putra dari Jembawati, Kresna masih memiliki enam anak dari tiga istri lainnya. Rukmini melahirkan Saranadewa, Partadewa, dan Dewi Titisari. Lalu dari istri ketiga, Setyaboma, lahir Setyaka. Dua anak lainnya dari Dewi Pertiwi, yakni Sitija dan Siti Sundari.
Ketika usianya semakin bertambah, Gunadewa menyadari kondisi tubuhnya yang tidak seperti adiknya. Ia meminta izin ibu dan bapaknya untuk tinggal bersama kakek dan neneknya di Gadamadana.
Selain sebagai pertapaan resi Jembawan, tempat tersebut juga merupakan makam para leluhur Mandura, Kumbina, dan Lesanpura. Raja besar yang bersemayam di pusara tersebut antara lain Kuntiboja dan Basudewa beserta permaisurinya.
Jembawati mengerti keinginan Gunadewa. Sebagai ibu kandung tidak tega melepas putranya yang masih kecil diasuh kakek dan neneknya, Trijatha. Atas izin dan restu suami, wanita lemah lembut itu bersama Samba ikut tinggal di Gadamadana.
Tahun berlalu dengan cepat, dua putra Jembawati tumbuh menjadi taruna. Keduanya bukan anak-anak sembarangan melainkan putra raja agung yang dikenal sebagai titisan Bathara Wisnu, dewa pemelihara keadilan dan perdamaian jagat.
Gunadewa menolak ketika ibunda mengajak kembali ke istana. Pun tidak bersedia menjadi putra mahkota. Ia memilih tetap di Gadamadana bersama kakek-nenek. Cita-citanya menjadi petapa dan menjaga pusara para leluhurnya.
Belasan tahun Gunadewa melihat dan belajar langsung dari kebiasaan Jembawan sebagai spiritualis. Dari situ pemuda berparas tampan tersebut tertarik melestarikan ‘prosesi’ eyang kakungnya. Laku prihatin menjadi nafas hidupnya sehari-hari.
Utusan Trajutrisna
Pada suatu ketika, Gadamadana kehadiran tiga orang yang mengaku sebagai utusan Prabu Sitija dari Trajutrisna. Gunadewa sebagai tuan rumah menerima tamunya dengan ramah, yakni Ditya Yayahgriwa, Ditya Amisunda, dan Ditya Mahodara.
Yayahgriwa mengatakan kedatangannya meminta izin menggusur pusara Gadamadana karena terdampak proyek besar jalan tol yang menghubungkan Trajutrisna dengan Kerajaan Giyantipura. Surat pernyataan sudah dipersiapkan untuk ditandatangani.
Gunadewa tidak berani tanda tangan dan tidak berhak pula memutuskan. Dirinya sekadar juru kunci. Utusan Trajutrisna disarankan meminta izin kepada uaknya, Prabu Baladewa, karena Gadamadana masih di bawah kekuasaan Mandura.
Pembuatan jalan bebas hambatan itu permintaan Hagnyanawati, permaisuri Sitija alias Prabu Bomanarakasura. Jalan dibuat lurus tanpa belok untuk mempercepat perjalanan bila Hagnyanawati ingin mudik atau pulang kampung.
Konon, keinginan dibuatkan jalan lurus itu hanya cara Hagnyanawati menghindari dan menolak hasrat Sitija untuk saresmi (hubungan suami-istri) meski berstatus istri. Dampaknya pasti menimbulkan ontran-ontran, perselisihan antar-saudara.
Di balik skenario itu, sebenarnya Hagnyanawati memang tidak cinta Sitija. Ia jatuh hati kepada Samba. Ketika pesta pernikahan berlangsung, pengantin putri bukan sungkem kepada Sitija melainkan menyembah Samba dan kemudian memeluknya.
Semua yang hadir tertegun, kemudian sebagian ada yang menahan tawa melihat peristiwa tersebut. Apa yang terjadi? Sesungguhnya Hagnyanawati memang hanya ingin menikah dengan Samba, putra mahkota yang rupawan, bukan dengan Sitija.
Yayahgriwa menegaskan dirinya bersama dua temannya ditugaskan menyampaikan berita proyek tersebut dan meminta tanda tangan Gunadewa, bukan meminta izin kepada Baladewa. Berat risikonya bila tidak berhasil melaksanakan tugas.
Berani berkorban
Berulangkali utusan Trajutrisna memaksa Gunadewa menandatangani tetapi selalu ditolak. Pada akhirnya terjadilah perkelahian yang tak seimbang. Gunadewa yang sendirian dan tidak terlatih perang berhadapan dengan tiga prajurit andalan.
Singkat cerita Gunadewa mati di tangan para raksasa beringas. Anak muda berbudi mulia itu hidupnya berakhir dengan tragis. Tidak sampai di situ, Gadamadana yang dipundi-pundi (sangat dihormati) trah Mandura diobrak-abrik dan diratakan.
Inilah kisah seorang anak yang narima ing pandum. Memiliki hak menjadi raja tetapi menyadari kondisi dirinya tidak pantas. Gunadewa tidak mau membuat keluarganya malu. Inilah contoh sikap mulia anak yang menghindari aji mumpung. ***