Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
ISU kepublikan hangat saat ini ialah tabungan perumahan rakyat (tapera), yaitu dana simpanan yang disetorkan secara rutin oleh peserta dalam jangka waktu tertentu. Tujuan utamanya untuk pembiayaan perumahan peserta.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap kebijakan itu, pemerintah (negara) harus bertanggung jawab terhadap ketersediaan rumah bagi rakyat. Di belahan dunia mana pun, negara itu dibentuk untuk menjamin kesejahteraan warganya.
Secara filosofis, negara bertanggung jawab terhadap rumah warga juga terceritakan dalam dunia wayang. Pandawa, meski tersingkir dan terusir secara politik tetapi tetap mendapat hak tempat tinggal. Mereka tidak terabaikan, hak-haknya terjamin.
Bale Sigala-gala
Pandawa ialah lima anak putra Raja Astina Prabu Pandu Dewanata. Mereka ahli waris takhta Astina. Tapi, setelah Pandu wafat, hak Pandawa dirampas Kurawa (kakak sepupu) yang dimentori Sengkuni, pamannya dari garis ibu.
Kurawa bukan hanya merebut takhta secara inkonstitusional tetapi juga berupaya menyirnakan Pandawa. Mereka beranggapan bila Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen dan Pinten masih hidup, kekuasaannya tidak aman, maka harus dihabisi.
Satu upaya pembunuhan menggiriskan yang menggegerkan jagat ketika Kurawa membakar hidup-hidup Pandawa dan ibunya, Kunti. Saat dini hari menyelimuti, tempat tinggal mereka, Bale Sigala-gala, disulut api hingga jadi abu.
Kodrat belum menggariskan Pandawa mati, mereka selamat. Sejak saat itu, sadar jiwanya terancam, Kunti mengajak lima anaknya menyingkir agar aman. Mereka berpindah-pindah tempat, ibarat wong kleyang kabur kanginan (melayang-layang tertiup angin).
Ketika itu Kurawa yakin Pandawa dan Kunti telah mati. Mereka menemukan enam jasad gosong di antara puing Bale Sigala-gala. Ternyata, itu jenazah wanita pengemis bersama lima anak yang pada malam itu numpang menginap.
Atas dasar itu, Drestarastra yang menjabat raja sementara pascameninggalnya Pandu, menobatkan raja muda Kurupati, menjadi penguasa penuh Astina yang baru. Putranya itu (sulung Kurawa) naik takhta bergelar Prabu Duryudana.
Resi Bhisma gusar mendengar kabar itu. Ahli waris sejati takhta Astina yang menjadi petapa di Talkanda ini buru-buru menemui Drestarastra menanyakan keputusannya mengangkat Kurupati menjadi raja.
Drestarastra, yang catat mata (buta), mengatakan berdasarkan laporan Sengkuni dan Kurawa, Pandawa telah tiada. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali menobatkan Kurupati menjadi raja untuk meneruskan trah (keturunan) Abiyasa.
Bhisma memberi tahu bahwa Pandawa masih hidup. Diam-diam pasca-peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala, Bhisma mencari info keberadaan para cucunya itu. Ternyata mereka bersama Kunti selamat dan terlunta-lunta tanpa tempat tinggal.
Mendengar keterangan Bhisma, Drestarastra menangis. Di samping sedih akan nasib keponakannya dan Kunti, juga merasa bersalah. Ia perintahkan nayaka praja segera mencari kelima anak Pandu dan Kunti untuk diajak pulang ke istana.
Istana Indraprastha
Hanya Bratasena yang bersedia datang mewakili Pandawa. Drestarastra yang sudah mengetahui sumber gonjang-ganjing politik Astina, meminta maaf kepada Bratasena atas kekejaman Kurawa akibat provokasi Sengkuni.
Namun, keputusan raja tentang penobatan Kurupati tidak bisa dicabut, sabda pendhita ratu tan kena wola-wali. Lalu, bagaimana nasib Pandawa? Negara bertanggung jawab dan menjamin hak Pandawa untuk tetap tinggal di Astina.
Sejalan dengan usulan Bhisma, Pandawa diberi sebagian wilayah Astina untuk dibangun rumah. Tanah itu masih berupa hutan belantara bernama Wanamarta. Pandawa dipersilakan mengelolanya dan disediakan anggaran negara.
Drestarastra menyatakan dana guna membuka lahan dan pembangunan tempat tinggal Pandawa tidak terbatas. Ditegaskan pula, itu bukan pinjaman sehingga tidak ada kewajiban anak-anak Pandu mengembalikannya.
Bratasena menerima kebijakan negara yang memberikan tanah kepada Pandawa. Semula, ia bertekad membalas dendam kepada Kurawa sekaligus merebut kembali takhta, tapi ambisinya diurungkan setelah dinasihati ibu dan Puntadewa, kakaknya.
Namun, Bratasena menolak bantuan anggaran negara. Ia bersama saudaranya bertekad membangun rumah dengan berswasembada. Pandawa bersumpah ingin membuktikan diri sebagai kesatria yang tegak berdiri tanpa bantuan siapa pun
Dengan doa dan restu ibu, Bratasena dan saudaranya bahu-membahu membabati Wanamarta yang angker. Tidak mudah, selain karena lebat dan banyak binatang buas yang menyerang, belantara itu juga rumah (kerajaan) para jin priprayangan.
Berkat ketekunannya, akhirnya ketekan (tercapai). Pandawa berhasil membuka lahan untuk didirikan tempat tinggal. Ajaibnya, atas kehendak yang Maha Kuasa, wilayah tersebut seketika berubah menjadi istana megah nan indah.
Keindahannya mirip dengan istananya Bathara Indra, yakni Kahyangan Kaendran. Maka, nama istana hasil kerja keras Pandawa itu diberi nama Indraprastha. Dalam waktu tidak lama, wilayah itu berubah menjadi negara bernama Amarta.
Puntadewa menjadi raja negara baru tersebut. Berbeda dengan raja-raja lain, mbarep (sulung) Pandawa ini tidak bersedia mengenakan kuluk (mahkota raja) dan pakaian kebesaran lainnya. Ia tampil amat sederhana seperti sedia kala.
Tanpa terkecuali
Dalam perkembangannya, Amarta menjelma menjadi negara adil dan makmur. Rakyat Astina banyak yang pindah menjadi warga Amarta. Ini bukan mengejar kesejahteraan, melainkan mereka ialah para pengikut setia mendiang Pandu.
Bhisma senang Pandawa mampu mandiri sehingga tidak berkelahi dengan Kurawa berebut kekuasaan Astina. Namun, takdir bicara lain, mereka berperang tapi bukan karena kekuasaan melainkan simbol perangnya nafsu baik dan buruk.
Nilai kisah ini adalah tanggung jawab negara terhadap warga akan masa depan dan tempat tinggalnya. Sekali lagi, negara itu didirikan semata untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat tanpa terkecuali. ***