Ditulis Ono Sarwono (Kader NasDem)
DI tengah sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) belakangan ini muncul istilah amicus curiae. Artinya konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukum kepada pengadilan.
Dalam dunia wayang, ada cerita yang secara substantif mirip-mirip demikian itu. Yaitu, ketika Raja Astina Prabu Duryudana ‘menyidangkan’ perkara masa depan negara. Berdasarkan paugeran (konstitusi), takhta Astina hak Pandawa.
Sabar dan tawakal
Menurut perjanjian yang telah disepakati dalam permainan dadu, bila Pandawa lulus menjalani hukuman sebagai pihak yang kalah, Kurawa mengembalikan kekuasaan Astina dan Amarta kepada kelima anak Pandu-Kunti/Madrim tersebut.
Hukuman Pandawa itu hidup di Hutan Kamyaka selama selusin tahun ditambah satu tahun menyamar. Bila rampung, mereka berhak atas kedaulatan dua negara itu. Namun, manakala keberadaannya terendus, mengulang hukuman dari awal.
Konsep tidak adil kreasi Sengkuni, mentor Kurawa, tersebut merupakan upaya licik menghabisi Pandawa. Ini strategi Duryudana melanggengkan kekuasaan karena Puntadewa bersama adik-adiknya dianggap sebagai penghalang.
Kurawa yakin dengan hukuman itu Pandawa mati konyol. Mereka tidak mungkin bisa survive (hidup) di belantara belasan tahun. Pun penyamarannya pasti diketahui mengingat Kurawa menyebar telik sandi (mata-mata) bayaran ke berbagai tempat.
Tapi, kenyataannya Pandawa mampu melewati semua ujian itu dengan sempurna. Bukan sekadar masih hidup dan merampungkan lelakon-nya dalam kondisi segar bugar, tetapi ujian itu malah ‘menyepuhkan’ kualitas lahir-batin mereka sebagai kesatria utama.
Pencapaian itu mereka dapatkan karena Pandawa menjalani hukuman tidak dengan penderitaan tetapi menjadikannya sebagai wahana menggembleng diri. Sikapnya yang demikian itu karena ngestoke pitutur becik (menjalankan nasihat baik) dari ibunda, Kunti Talibrata.
Beruntung pula eyangnya, Begawan Abiyasa, sesekali menjenguk memberi dorongan agar sabar dan tawakal melakoni kodrat. Sejatinya, keluhuran budi setiap insan itu terletak pada kelegawaan menjalani hidup, apapun kondisinya, dan selalu eling kepada Sang Maha Kuasa.
Jadi, pada akhirnya Pandawa tidak pernah merasa jagat memperlakukan tidak adil dan kemudian larut dalam kesedihan. Mereka memahami dari perspektif spiritual, justru lelakon itulah yang menjadikannya sebagai insan-insan ‘terpilih’, yaitu jalan menuju kemuliaan.
Salah satu contoh cara menikmati penderitaan yang kemudian membuahkan berkah ketika Arjuna mesubrata, menyucikan diri. Ia menyepi di Gua Mintaraga dengan nama Begawan Ciptaning. Kegenturannya bertapa sampai mengguncang Kahyangan Jonggring Saloka.
Dari laku sucinya itu, penguasa Kahyangan Bathara Guru menganugerahi pusaka berupa panah sangat ampuh bernama Pasopati. Kelak ketika perang Bharatayuda, senjata itu menjadi andalan Arjuna mengisas bala Kurawa di medan Kurusetra.
Abaikan pendapat
Setelah mengetahui Pandawa berhasil melewati jebakan hukuman, Duryudana menggelar sidang. Pihak ketiga yang diundang memberikan pandangan antara lain mertuanya, Prabu Salya (raja Mandaraka), dan Begawan Bhisma sebagai pinisepuh sekaligus ahli waris sejati takhta Astina.
Dalam sidang paripurna yang dihadiri nayaka praja komplit, Duryudana minta pendapat Salya, bagaimana Astina ke depannya. Ayah Banowati itu berpandangan seyogianya Astina dikembalikan sepenuhnya kepada Pandawa.
Salya meyakinkan kepada Duryudana tentang nasib hidupnya bila tidak berkuasa lagi atas Astina. Ia rela dan legawa lengser keprabon (turun takhta) dan kemudian menyerahkan singgasana Mandaraka tanpa syarat kepada putra mantunya tersebut.
Menurut Salya, itu bukan bualan melainkan komitmennya. Dirinya sudah tuwuk (puas) berkuasa dan saatnya istirahat mengingat usia juga tidak muda lagi. Ingin berkonsentrasi mencari memanise pati, jalan menuju kebahagiaan abadi.
Pendapat yang sama juga disampaikan Bhisma. Dasarnya, aturan turun-temurun bahwa suka tidak suka, takhta Astina itu haknya Pandawa. Mereka ialah para putra mendiang Prabu Pandudewanata, raja Astina. Kurawa tidak berhak berkuasa.
Bhisma ingin Kurawa dan Pandawa rukun sebagai sesama trah Abiyasa. Ia yakin Puntadewa dan empat adiknya tidak akan membalas dendam dan menelantarkan Kurawa, kakak sepupunya sendiri yang berjumlah seratus orang.
Kurawa ialah putra pasangan Drestarastra, kakak kandung Pandu, dengan Dewi Gendari. Bibit dan awal mula Kurawa membenci dan memusuhi Pandawa karena hasutan dan gosokan Tri Gantalpati alias Sengkuni, paman dari garis ibu.
Paranpara rezim Kurawa, Durna, sependapat dengan Salya dan Bhisma. Sebagai guru Kurawa dan Pandawa sejak kecil, dirinya selalu berdoa dan berikhtiar agar Kurawa dan Pandawa rukun berdampingan dan bekerja sama memajukan Astina.
Tiba-tiba, senapati Astina Karna Basusena menyela meminta izin menyampaikan unek-uneknya. Menurutnya, tidak ada jamaknya negara diberikan kepada pihak lain dengan begitu saja. Negara itu bukan mainan dan barang dagangan.
Karna berpendapat negara harus dipertahankan hingga tetes darah penghabisan. Itu cara kesatria dan harus dipegang serta dijunjung teguh. Dirinya siap dan sanggup menjadi agul-agul (andalan) sebagai benteng terdepan negara.
Baginya, Pandawa mudah dihabisisi, tidak perlu dengan berbagai cara apuskrama (tipu muslihat) yang bertentangan dengan watak kesatria. Menurutnya, kesatria itu prinsipnya ‘ini dadaku, mana dadamu’ bukan diam-diam menikam dari belakang.
Berakibat hancur
Patih Sengkuni setuju dengan pendapat Karna. Gunanya apa Kurawa berjumlah seratus orang menyerah kepada Pandawa yang hanya lima orang. Apalagi Kurawa memiliki koalisi yang anggotanya banyak negara dan berbala ribuan pasukan.
Singkat cerita Duryudana memutuskan negara harus dipertahankan dengan segala risikonya. Maka terjadilah Bharatayuda yang akhirnya memusnahkan Kurawa. Hikmahnya, pengabaian terhadap amicus curiae berbuah rusaknya keadilan dan kehancuran. ***