Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
ADA orang yang mengatakan berpolitik itu mesti siap kecewa dan dikecewakan. Barangkali itu saran atau peringatan kepada siapa saja untuk memiliki kesadaran antisipasi terhadap kemungkinan terburuk ketika terjun dalam dunia politik.
Kata-kata itu juga bisa dipahami sebagai ‘katup pengaman’ pada diri sendiri bila kenyataannya tidak sesuai dengan harapan sehingga tidak sampai makan hati. Memang seyogianya berpolitik itu sebatas seni mengelola elan perjuangan.
Hal demikian itu yang dialami dan disadari Raden Gandamana kala meniti karier politik di Negara Astina dalam cerita wayang. Ia menghadapi realitas pahit padahal pengabdian dan pengorbanannya kepada bangsa dan negara tiada tara.
Menjadi patih
Alkisah, Raja Negara Pancala Prabu Gandabayu dan permaisuri Dewi Trilaksmi menggadang-gadang Gandamana, putra kedua, kelak menggantikan sebagai raja. Anak sulungnya perempuan bernama Gandawati.
Gandamana muda dikenal sebagai kesatria tampan dan gagah perkasa. Selain pintar, juga sakti mandraguna, dua aspek minimal yang diperlukan raja sebagai modal mengelola pemerintahan dan menjaga negara.
Ketika masih bayi, ia pernah menjadi jagonya dewa menyirnakan Resi Jarwada yang mengamuk di kahyangan karena permintaan agar kakaknya, Jarwati, yang mati dihidupkan lagi ditolak. Saat itu, terlebih dulu Gandamana dijedi (digodok) sehingga cepat dewasa.
Bathara Bayu yang bertugas membesarkan Gandamana juga memberi aji bandung bandawasa dan blabag pangantolatol. Kesaktiannya, pengguna ajian itu memilki kekuatan seribu gajah. Singkat cerita Gandamana berhasil melaksanakan tugas.
Berbeda dengan kebanyakan titah, Gandamana tidak tertarik menjadi raja meski ‘tiket’ (gelar putra mahkota) sebagai penguasa dalam genggamannya. Minatnya mengabdi kepada Prabu Pandu Dewanata, raja Astina yang sangat dikagumi.
Pandu dengan senang hati menerima lamaran Gandamana. Seiring berjalannya waktu, putra Abiyasa itu tertarik dengan kualitas jiwa-raga pemuda Pancala tersebut dan kemudian mengangkatnya sebagai warangka dalem (patih).
Ketika dilantik, Gandamana bersumpah mendarmabaktikan jiwa raganya demi kejayaan Astina di bawah kepemimpinan Pandu. Sebagai bekal melaksanakan tugas, Gandamana diwarisi aji sepiangin sehingga mampu bergerak secepat angin.
Duet kepemimpinan Pandu-Gandamana ini menjadikan Astina semakin maju dan disegani bangsa lain. Banyak negara yang belajar dan menjalin persahabatan. Bahkan ada yang merasa menjadi bagian dari Astina, di antaranya Pringgondani.
Raja Pringgondani Prabu Tremboko menganggap Pandu sebagai gurunya. Tidak terbilang penguasa berwujud raksasa itu berkunjung ke Astina menimba ilmu. Saking eratnya, hubungan kedua raja itu bak saudara kandung.
Difitnah Suman
Pada saat Astina menggapai puncak keagungannya, Arya Suman alias Trigantalpati diam-diam menyusun strategi. Adik ipar Drestarastra, kakak Pandu, yang berasal dari Plasajenar tersebut mengincar jabatan patih. Target awal Gandamana terjungkal dari kursinya.
Suman ialah adik Gendari, istri Drestarastra. Ia berada di Astina, bahkan menjadi orang dalam lingkaran istana, karena ikut kakaknya yang memiliki anak setarus orang yang disebut Kurawa. Suman yang mengarus keponakannya hingga dewasa.
Kodratnya Suman berotak cerdas. Ia jeli memanfaatkan situasi penuh tanda tanya ketika sudah sekian lama Tremboko tidak sowan ke Astina. Suman menyarankan Pandu mengirim utusan terpercaya ke Pringgondani mencari kabar.
Pada saat menunggu keputusan raja, di alun-alun Suman bertemu Arimba yang membawa surat ayahnya untuk Pandu. Suman meminta surat tersebut dan dirinya yang akan mengantarkan kepada raja. Arimba kemudian kembali ke negaranya.
Suman membuka surat yang isinya permintaan maaf Tremboko karena beberapa kali absen dalam pisowanan akibat banyak tugas negara. Surat itu lalu diubah isinya menjadi tantangan perang dari Pringgondani.
Pandu kaget membaca surat tersebut. Hati kecilnya tidak percaya Tremboko berani sejauh itu. Diutuslah Gandamana ke Pringgondani bertabayun. Suman mendahului mengabarkan kepada Arimba bahwa Pringgondani akan digempur Gandamana.
Arimba dengan cepat mempersiapkan pasukan raksasa di perbatasan negara. Ketika Gandamana tiba, tanpa ditanya apapun, langsung dikeroyok dan diceburkan ke luweng (lubang galian dalam) yang dipersiapkan Suman.
Bala Pringgondani dan Kurawa, dengan arahan Suman, menimbun lubang dengan batu dan tanah. Mereka memastikan Gandamana mati. Suman lalu buru-buru menghadap Pandu mengabarkan bahwa Gandamana bergabung dengan Tremboko.
Namun, kata Suman, dirinya bersama Kurawa telah menghabisi Gandamana yang berkhianat. Dia katakan bahwa dirinya sudah lama mencium gelagat Gandamana yang ingin menguasai singgasana Astina dengan bersekongkol bersama Tremboko.
Pandu percaya semua laporan karangan tersebut. Suman dianggap berjasa besar kepada raja dan negara. Lelaki culas tersebut kemudian mendapat apresiasi, diangkat sebagai patih menggantikan Gandamana.
Tidak lama berselang, ketika Pandu menggelar rapat bersama para nayaka praja membicarakan kasus Tremboko, tiba-tiba muncul Gandamana. Ia langsung menyeret Suman ke alun-alun dan digebuki hingga sekujur tubuhnya babak belur.
Pulang ke Pancala
Suman, yang kemudian kondang bernama Sengkuni, selamat dari ajal karena Pandu datang menghentikan kemarahan Gandamana. Pandu bahkan mengancam akan memusnahkan mantan orang kepercayaannya itu bila tidak segera meninggalkan Astina.
Hancurlah hati Gandamana. Belum sempat menjelaskan duduk perkaranya namun sudah divonis bersalah. Tapi, jiwa kesatrianya teguh, ikhlas menerima kenyataan yang menyakitkan. Ia kemudian pamit pulang ke tanah kelahirannya, Pancala.
Pandu tidak arif dan bijaksana, tapi Gandamana tidak kehilangan rasa hormatnya kepada raja Astina tersebut. Pilihannya hanya satu, jika orang yang dimuliakan itu sudah tidak menghendaki, keputusan itu diterima dengan legawa. ***