Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
DALAM dunia maya hari-hari ini kita menemukan sejumlah kata dan ungkapan yang kurang lebih maknanya ‘bernafsu berkuasa’. Sindiran itu ditujukan kepada salah satu capres. Lebih dari itu, ia dinilai sangat ambisius karena menggunakan segala cara.
Sebenarnya, bernafsu berkuasa itu masih wajar, tetapi bila sudah sampai pada tataran ambisius, itu berpotensi menabrak aturan dan tatanan. Ambisius ialah kemauan yang kuat untuk mencapai keberhasilan, bahkan jika harus dilakukan dengan cara tidak layak.
Bila menyimak dalam cerita wayang, tokoh yang ambisius berkuasa digambarkan pada diri Kangsa. Berani melabrak paugeran (aturan) demi menggenggam tujuan. Tapi, hukum alam menggariskan, Sapa sing mbibiti ala bakale sirna, siapa yang mengawali dengan perberbuatan tidak baik bakal sirna.
Anak raksasa
Nama Kangsa terpatri dalam sejarah kelabu Negara Mandura. Lelaki berangasan itu berusaha menguasai takhta Mandura dengan modal kekerasan. Diawali dengan membikin ontran-ontran kemudian dipuncaki dengan tontonan adu kedigdayaan.
Dalam pakeliran, Kangsa juga bernama Kangsadewa alias Basuwara Kangsa. Ia disebut sebagai putra Raja Mandura Prabu Basudewa karena lahir dari rahim salah satu istrinya, Maerah. Tapi, sesungguhnya Kangsa bukan dari benih Basudewa.
Menurut kisahnya, raksasa bernama Gorawangsa dari Negara Gowabarong memba (beralih rupa) menjadi Basudewa kemudian penuh birahi menggauli Maerah berulang kali. Itu terjadi ketika Basudewa sedang berburu ke hutan berhari-hari.
Maerah tidak menyadari bila yang ber-saresmi (melakukan hubungan suami-istri) dengan dirinya ialah Gorawangsa yang menjijikkan. Kedok ‘maling asmara’ itu diketahui Harya Prabu, adik Basudewa, yang kemudian membinasakannya.
Sungguh sial nasib Maerah. Sudah menjadi pelampiasan nafsu gombal berduwak (raksasa), ia dikucilkan ke belantara hingga bayi dalam kandungannya lahir. Orok yang diberi nama Kangsa itu diopeni Suratimantra, adik Gorawangsa.
Berada dalam didikan bangsa buta, Kangsa tumbuh dan besar tanpa asupan sopan santun, etika, dan moral. Wataknya keras dan kasar, ugal-ugalan, serta koppig (keras kepala). Yang digulawentah hanya ilmu kanuragan (kesaktian fisik).
Kangsa tahu bahwa dirinya anak Gorawangsa. Namun, karena lahir dari rahim Maerah, istri Basudewa, maka dirinya merasa berhak bertatus pangeran. Dan oleh karena sebagai anak tertua dan laki-laki, maka berhak pula sebagai putra mahkota.
Demi menjaga nama baik, Basudewa memenuhi keinginan Kangsa, malah diberi ‘bonus’ wilayah kesatrian Sengkapura. Kemurahan hati Basudewa itu semata cara mencegah Kangsa agar tidak menebar teror pada warga yang tidak mendukungnya.
Namun, diam-diam Kangsa bersama timnya yang dipimpin Suratimantra terus menghasut rakyat supaya berada dalam barisannya. Tujuannya membangun kekuatan guna merebut kekuasaan Mandura. Siapa yang tidak sejalan diintimidasi
Di sisi lain, Basudewa tentu ingin yang menggantikannya sebagai raja kelak putra kandungnya. Demi masa depan ketiga anaknya, yaitu Kakrasana, Narayana, dan Bratajaya diungsikan ke Widarakandang. Di dusun itu, mereka diasuh Demang Antagopa dan Ken Sagopi.
Adu kesaktian
Setelah merasa sebagian besar rakyat mendukung, Kangsa mendesak Basudewa menggelar adu jago di alun-alun. Duel jago dari kasepuhan (Mandura) melawan jago Sengkapura, yakni Suratimantra. Siapa yang jagonya menang berhak takhta Mandura.
Basudewa dalam tekanan. Keinginan Kangsa jelas melanggar konstitusi. Namun raja tidak bisa menolak mengingat kesaktian Kangsa yang tiada tanding. Pun permintaan agar seluruh rakyat Mandura harus menonton pertarungan tersebut..
Beruntung Basudewa, setelah mengeluarkan wara-wara ke seluruh pelosok negeri, menemukan orang yang berani dan sanggup melawan Suratimantra dan Kangsa sekaligus. Pemuda itu bernama Bratasena, keponakan Basudewa sendiri.
Sesuai dengan hari dan tempat yang ditentukan, adu jago digelar. Perkelahian Bratasena melawan Suratimantra berlangsung sengit. Sorak sorai antarpendukung bergemuruh bila jago yang mereka dukung menjatuhkan lawan.
Ketika kedua jago sedang adu kesaktian, Kangsa menemukan Kakrasana dan Narayana di luar gelanggang. Keduanya langsung ditelikung. Kakak beradik itu akan dihabisi karena dianggap sebagai penghalang utama ambisinya menjadi raja.
Setelah berulang kali saling menjatuhkan, Suratimantra akhirnya menggelepar akibat dadanya dihujam Bratasena dengan kuku pancanaka. Kangsa yang melihat jagonya mati, naik pitam dan buru-buru ingin segera membunuh dua tawanannya.
Tapi, tanpa disadari, tiba-tiba leher Kangsa putus tersabet senjata Nenggala yang diayunkan Kakrasana. Ketika Kangsa meracau menjemput ajal, Narayana segera menghantamkan tubuh pengacau itu dengan pusaka Cakra hingga lebur jadi abu.
Kangsa tidak memperhitungkan jika Kakrasana dan Narayana menjadi kesatria yang tangguh nan sakti. Meski digulawentah oleh seorang demang, tetapi berkat kegenturan menjalani laku prihatin, keduanya menjadi orang hebat.
Dengan lenyapnya Kangsa dan Suratimantra, ketenteraman Mandura pulih. Rakyat yang semula dilanda kecemasan dan merasakan suasana panas serta sempat terjadi polarisasi antara yang pro-Kangsa dan pendukung Basudewa, akhirnya kembali bisa rukun dan bersatu lagi.
Lebur oleh kebaikan
Demikian cerita singkat Kangsa yang amat ambisius. Sepak terjangnya menggapai tujuan didasari atas sikap kepongahannya. Ia begitu yakin dengan kesaktian serta dukungan para fanatikernya, semua yang dikehendaki bakal tercapai.
Berdasarkan perhitungannya, tidak ada senapati Mandura yang mampu mengalahkannya. Tapi, Kangsa lupa bahwa ada kesatria Pandawa yang berada di negara tersebut. Merekalah yang menyelamatkan Mandura dari kerusakan.
Poinnya dalam konteks perpolitikan di negeri ini, siapa yang jemawa dan bermain nakal akan hancur pada akhirnya. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, segala keangkaramurkaan lebur oleh kesabaran dan kebaikan. ***