JATENG.NASDEM.ID – Intervensi pemerintah melalui penerapan kebijakan, terkait penanggulangan penyakit tidak menular mesti dilakukan secara konsisten agar upaya menekan prevalensi diabetes di tanah air.
“Problem diabetes ada di depan mata kita, sehingga membutuhkan perhatian serius semua pihak,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Waspada Diabetes Menggerogoti Usia Produktif yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/11).
Diksusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes. (Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes RI), Dr. Muhammad Adib Khumaidi, Sp.OT (Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Drg. Hj. Hasnah Syams, MARS.(Anggota Komisi IX DPR RI) sebagai penanggap. Menurut Lestari, ancaman tersebut harus diantisipasi dan dicermati agar bonus demografi yang diharapkan tidak berubah menjadi beban.
Apalagi, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, berdasarkan catatan WHO angka kasus diabetes di dunia yang terbanyak adalah type 2 yang bisa dicegah dengan pemahaman dan upaya yang tepat.
Kondisi tersebut, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, harus menjadi perhatian apalagi diabetes menyerang usia produktif.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kepentingan benar-benar aktif melakukan pencegahan melalui penerapan sejumlah kebijakan yang relevan.
Selain itu, tambah dia, juga harus diinisiasi gerakan peningkatan kualitas hidup sehat melalui edukasi dan peningkatan layanan kesehatan melalui sistem kesehatan terpadu demi memaksimalkan manfaat bonus demografi pada Indonesia Emas 2045.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes RI, Eva Susanti sependapat bahwa kesiapan mewujudkan bonus demografi harus diiringi dengan upaya membangun generasi emas yang sehat.
Karena kondisi saat ini di Asia Tenggara, ungkap Eva, kasus diabetes menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah penderita 90,2 juta atau 8,7% dari populasi.
Jumlah kasus tersebut, ujar Eva, akan terus naik bila tidak ada upaya untuk mengendalikan faktor resiko. Apalagi, tegas dia, diabetes merupakan ibu dari segala penyakit.
Menurut Eva gaya hidup seperti merokok, kurangnya aktivitas fisik dan kurang makan buah dan sayuran dapat meningkatkan risiko terkena penyakit tidak menular seperti diabetes.
Sejatinya, tegas dia, bila diterapkan tata laksana yang tepat diabetes dapat diatasi. Pemerintah, ungkap Eva, juga sudah berupaya melakukan langkah-langkah pencegahan dengan deteksi dini pada sistem layanan kesehatan yang ada hingga penatalaksanaan terhadap para penderita.
Eva mendorong agar masyarakat melakukan pengukuran gula darah minimal satu kali dalam satu bulan. Di sisi lain, tambah dia, penguatan pembiayaan pada jaminan kesehatan nasional untuk mendukung sejumlah upaya preventif dan pengobatan diabetes juga terus diupayakan.
Eva juga mendorong regulasi terkait kewajiban mencantumkan informasi nilai gizi pada makanan yang beredar ditegakkan secara konsisten dan masyarakat peduli terhadap informasi tersebut.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Muhammad Adib Khumaidi berpendapat bila kita bicara diabetes yang harus dilakukan adalah kenali risiko Anda dan bagaimana pencegahannya.
Terpenting, ujar Adib, masyarakat memiliki akses yang sama bila terkena diabetes untuk mendapat penatalaksanaan yang tepat.
Apalagi, tegas dia, diprediksi jumlah penderita diabetes akan terus meningkat di masa datang. Diakui Adib perubahan pola hidup sudah mulai terlihat pada masyarakat di perkotaan, tetapi belum terlihat secara masif.
Adib juga mendorong agar dilakukan kampanye untuk mengurangi konsumsi yang manis lewat regulasi yang mewajibkan informasi kandungan gula dalam makanan yang beredar.
Menurut Adib, awareness masyarakat terkait ancaman diabetes adalah pekerjaan rumah bagi kita semua dalam penanganan diabetes di tanah air.
Bila gejala-gejala klinis diabetes bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, tegas Adib, bisa menjadi cara untuk meningkatkan kepedulian masyarakat luas dalam upaya mendorong pencegahan diabetes.
Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia, Hardinsyah mengungkapkan pencegahan diabetes bisa dilakukan melalui keseimbangan kadar lemak dalam tubuh.
Karena, menurut Hardinsyah, faktor risiko terbesar penimbunan lemak dalam tubuh adalah obesitas yang merupakan lima risiko utama pemicu diabates tipe 2. Pengendalian obesitas dan aktivitas fisik, ujar dia, bisa menjadi upaya pencegahan diabetes.
Upaya mengurangi konsumsi makanan yang berisiko, terutama yang berkadar gula tinggi, menurut Hardinsyah, harus diimbangi dengan meningkatkan konsumsi makanan berserat seperti ubi-ubian dan kue dengan taburan parutan kelapa.
Diakui Hardinsyah, hampir 50% masyarakat Indonesia mengalami defisiensi vitamin D yang penting untuk menjaga sistem metabolisme tubuh dalam mencegah obesitas.
Hardinsyah mendorong agar diet yang baik untuk mencegah obesitas harus diimbangi dengan aktivitas fisik yang tepat untuk mencegah obesitas.
Anggota Komisi IX DPR RI, Hasnah Syams mengungkapkan diabetes merupakan salah satu bagian dari kegawatdaruratan global.
Sementara, ungkap dia, 73,7% masyarakat tidak terdeteksi menderita diabetes yang menyebabkan diabetes di Indonesia sangat sulit diatasi karena yang bersangkutan tidak menyadari kalau terkena diabetes.
Langkah terpenting, menurut Hasnah, harus ada upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini, sehingga diabetes ditempatkan sebagai penyakit yang penting untuk diatasi.
Hasnah menilai upaya preventif dan promotif diabetes belum efektif dilaksanakan saat ini. Karena meski sudah ada kesadaran masyarakat untuk deteksi dini, tambah dia, seringkali menghadapi keterbatasan sarana di sejumlah fasilitas layanan kesehatan.
Sementara itu, wartawan senior Saur Hutabarat sepakat bila upaya preventif dan promotif merupakan bagian penting dalam penanganan diabetes. Namun, Saur menduga upaya tersebut belum sepenuhnya terwujud karena keterbatasan anggaran.
Selain itu, ujar Saur, upaya untuk mengurangi konsumsi gula harus diikuti dengan kebijakan yang ketat terkait standar kadar gula yang layak dikonsumsi dalam setiap produk makanan dan minuman yang diperdagangkan.
Saur mengingatkan rendahnya deteksi dini menyebabkan tingginya jumlah masyarakat yang tidak menyadari bahwa dirinya terkena diabetes. Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan besar di masa datang.*