Ditulis oleh Ono Sarwono (kader NasDem)
MAHKAMAH Konstitusi (MK) disindir sebagai Mahkamah Keluarga karena memutuskan warga negara berusia di bawah 40 tahun tetapi berpengalaman sebagai kepala daerah boleh menjadi capres-cawapres. Keputusan itu memberi jalan bagi keponakan ketua MK maju sebagai cawapres.
Dalam dunia wayang, lembaga kahyangan sebagai ‘mahkamah konstitusi’ tribuana juga pernah distempeli kahyangan keluarga. Gara-garanya Pemimpin Kahyangan Bathara Guru mengeluarkan keputusan yang mementingkan keluarganya.
Beruntung ada Bathara Narada yang berani dan selalu mengoreksi setiap kebijakan kahyangan yang melenceng. Juga masih ada Semar Badranaya, Bathara Ismaya mangejawantah, yang berulang kali meluruskan Bathara Guru yang berbuat keliru.
Menyimpan aib
Sejarawan dan politikus Lord Acton mewanti-wanti power tends corrupt and obsolute power corrupts obsolutely (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak pasti korup). Itu berlaku bagi semua titah, termasuk golongan dewa.
Umumnya koruptor, dewa yang menyeleweng juga karena memenuhi nafsu pribadi dan demi keluarga. Kekuasaan kahyangan yang tupoksinya sebagai wakil Sang Maha Pencipta di seluruh jagat, yaitu mayapada, madyapada, dan marcapada, tidak dijalankan dengan lurus.
Penguasa Kahyangan Bathara Guru alias Sanghyang Pramesti Guru tidak sekali menggok dalan atau mengingkari amanah yang diemban. Kekuasaan mutlak dalam genggaman mendorong berbuat sesukanya. Akibatnya institusi kahyangan cemar di mata semua makhluk.
Sebagai gambaran begitu besarnya kekuasaan, Bathara Guru memiliki tidak kurang 27 gelar. Di antaranya Sanghyang Manikmaya, Sanghyang Jagadgirinata, Sanghyang Siwa, Sanghyang Jagadpratingkah, dan Sanghyang Otipati. Nama lainnya ialah Sanghyang Caturbuja, Sanghyang Nilakanta, dan Sanghyang Trinetra.
Sebenarnya, Bathara Guru, yang tinggal di Kahyangan Jonggring Saloka, dikenal sebagai penguasa arif dan bijaksana. Perilaku koruptifnya muncul lebih karena bisikan dan desakan istrinya, Bethari Durga, dan salah satu putranya, Dewasrani.
Tidak satu pun permintaan Durga yang bisa ditolak. Kenapa? Itu karena Penguasa Kahyangan Setragandamayit tersebut memiliki banyak catatan atau rekaman aib sang suami. Itulah yang digunakan sebagai ‘senjata pamungkas’ untuk memaksa raja dewa itu menuruti kehendaknya.
Jadi, sejatinya Bathara Guru paham betul mana yang keliru dan mana yang tidak. Namun, ia terpaksa melenceng karena tidak ingin rahasia kenakalannya (percintaan gelap) jadi konsumsi publik, apalagi kalau sampai terdengar makhluk marcapada.
Bathara Guru memiliki dua istri sah, Durga yang semula bernama Dewi Umayi serta Dewi Laksmi. Namun, Sanghyang Manikmaya memiliki banyak bidadari simpanan. Di antaranya yang santer menjadi isu perbincangan diam-diam para dewa ialah si jelita Wilutama.
Pernah Bathara Indra dan Bathara Bayu dijatuhi sanksi Bathara Guru karena dinilai kurang ajar, ngunggah-ngunggahi (merayu) Wilutama. Keduanya dikutuk menjadi raksasa dan menjalani hukuman di Hutan Tibaksara di lereng Gunung Reksamuka.
Sewenang-wenang
Contoh keputusan Bathara Guru yang melenceng ketika memisahkan secara paksa Arjuna dengan Bathari Dresanala yang sudah terikat sebagai pasangan suami-istri. Itu jelas-jelas guna memberi jalan Dewasrani yang ingin meminang Dresanala.
Dewasrani memang selalu iri dengan Arjuna, bukan saja tentang ketampanan tetapi juga kesaktiannya. Pun ketika panengah Pandawa itu mempersunting Dresanala sebagai ‘bonus’ atas jasanya kepada dewa. Dewasrani cemburu, merasa tidak adil karena kesatria berjodoh dengan bidadari.
Tapi di balik itu, Dewasrani sebenarnya sudah lama kepincut Dresanala tapi baru terbuka belakangan. Ia lalu meminta ibunda agar menikahkannya dengan pujaan hatinya tersebut. Durga menolak karena Dresanala bukan gadis lagi. Apalagi putri Bathara Brahma itu sudah mengandung.
Namun, karena putranya terus merengek, Durga akhirnya meminta kebijakan Bathara Guru agar memberi jalan keluar. Di bawah ‘ancaman’ Durga, Raja kahyangan sewenang-wenang memisahkan Arjuna dengan Dresanala.
Narada mengkritik dan menolak langkah kejam tersebut. Bathara Guru kukuh karena berkuasa dan berhak menentukan segalanya. Keputusannya final dan mengikat. Akhir kisahnya, para dewa digebuki Wisanggeni, anak Dresanala. Bathara Guru meminta maaf atas kekeliruannya.
Kisah lainnya, lagi-lagi karena polah Dewasrani. Raja Negara Tunggulmalaya ini mengaku tidak menerima ada titah marcapada memiliki nama seperti halnya para penduduk kahyangan. Yang dimaksud ialah Raja Amarta Prabu Puntadewa.
Lewat ibundanya lagi, ia meminta keadilan kepada Bathara Guru. Menurutnya, Puntadewa lancang dan harus dihukum karena menyamakan dirinya dengan dewa. Atas hasutan Durga, sulung Pandawa yang tidak berdosa tersebut dihukum.
Narada diutus menyampaikan sanksi bahwa Puntadewa dipenjara di Kawah Candradimuka atas kesalahan menggunakan namanya dengan kata dewa. Kepada raja Amarta itu, dewa cebol tersebut mengaku hanya menjalankan perintah.
Kebijakan Bathara Guru itu kemudian dikoreksi Semar. Pamong Pandawa itu lalu memberi pencerahan kepada Puntadewa. Atas keyakinannya bahwa dewa telah berbuat semena-mena, Puntadewa lalu tiwikrama mengobrak-abrik kahyangan.
Kekuasaan berbahaya
Tidak ada pasukan dorandara dan dewa yang mampu menghalau raksasa sebesar bukit jelmaan Puntadewa. Bathara Guru lalu memerintahkan Narada untuk mencari bantuan kepada titah marcapada. Kresna kemudian ditunjuk sebagai jagonya dewa.
Botoh Pandawa itu berhasil mengembalikan ketentaraman kahyangan. Diingingatkan bahwa peristiwa yang mengharu-biru kahyangan akibat perbuatan penguasanya sendiri. Dewa tidak adil mentang-mentang berkuasa penuh.
Demikian sepenggal cerita kahyangan yang suram. Keagungan dan simbol segala keindahan jagat itu ternoda karena lunturnya integritas penguasa. Hikmahnya, kekuasaan sangat berbahaya di tangan siapa saja yang tidak eling. ***