Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
LIMBUK belakangan ini tampak kerap keluar rumah. Ke sana-kemari mendatangi acara yang menghadirkan calon pemimpin Amarta yang akan berkompetisi tahun depan. Saat ini ada tiga kandidat, yaitu Pancawala, Gatotkaca, dan Abimanyu.
“Dari mana lagi Nduk (panggilan anak perempuan), kok sampai sore baru pulang,” tanya Cangik.
“Biasa-lah Mak, belajar politik,” jawab Limbuk.
Lagi-lagi Limbuk mengatakan baru saja mengikuti acara diskusi dengan salah satu calon pemimpin. Anak semata wayang Cangik ini begitu antusias setiap ada acara terbuka kandidat. Di mana pun tempatnya dan bila terjangkau, pasti disambangi.
“Loh, kemarin kan sudah,” ujar Cangik.
“Ini calon yang lain, Mak,” jawabnya.
Limbuk tidak membatasi diri dengan salah satu calon. Pun tidak peduli parpol atau koalisi tertentu yang mencalonkan. Ketertarikannya hanya pingin mendengar ide, gagasan atau pemikiran setiap kandidat dalam membangun bangsa dan negara.
Dari situ diketahui perbedaan atau keunggulan setiap calon kontestan yang akan dijadikan dasar memilih. Jadi, mendukung bukan karena sentimen terhadap partai atau koalisi melainkan karena pemikiran dan janjinya yang terbaik.
“Aku pingin jadi orang merdeka kok, Mak,” kata Limbuk sambil mesem.
“Bagus, Nduk,” jawab Cangik dengan mengangkat jempol kanan.
Cangik sependapat dengan sikap anaknya. Memilih dengan pertimbangan akal dan pikiran serta nurani, bukan karena suap. Agenda pemilihan pemimpin sekali setiap lima tahun dimaknai sebagai sarana mengantarkan rakyat hidup sejahtera.
“Saya prihatin. Banyak warga yang hanya nyadong (menerima jatah) uang saweran setiap pemilihan. Mereka seperti menggadaikan hak pilih dengan murah. Padahal di tangan kita nasib bangsa dan negara ke depan,” tutur Cangik.
Limbuk menimpali, “Demokrasi itu butuh berbagai syarat standar. Masalahnya masih banyak saudara kita yang miskin dan berpendidikan rendah.”
Menurut Limbuk, dari sisi kualitas dan komitmen para kandidat, semua memiliki kapabilitas dan tekad yang sama. Ketiganya bersemangat memajukan negara dan memakmurkan rakyat. Ini modal kuat dan harapan yang baik bagi bangsa.
Dengan demikian tidak ada alasan membenci mereka. Beda pilihan itu bukan lalu menjelek-jelekan atau memusuhi yang lain. Setiap kompetisi, pasti ada yang kalah dan menang. Semua mesti memahami itu sehingga kerukunan tetap terjaga.
Cangik mengingatkan kepada Limbuk ketika memilih pemimpin. Selain faktor kemampuan hebat dalam kepemimpinan, penting juga mempertimbangkan watak atau kepribadian setiap kandidat.
“Watak yang bagaimana, Mak?”
“Ini wasiat leluhur, Nduk.”
Dituturkan bahwa pemimpim yang baik itu memiliki delapan watak yang disebut hastabrata. Hasta artinya delapan, sedangkan brata itu laku. Maknanya, perilaku yang mengikuti delapan watak alam, yaitu matahari, bumi, samudra, angin, angkasa, bintang, bulan, dan api.
“Jelasnya bagaimana, Mak?”
“Sini, duduk yang enak, supaya kamu gampang memahami.”
Keduanya bersimpuh di atas tikar pandan di ruang tengah rumah. Malam belum larut tapi suasana sudah nyenyet (sepi). Musim bediding yang dinginnya menggigit membuat warga dusun memilih berada di dalam rumah masing-masing.
Cangik lalu membuka buku kecil lusuh warisan almarhum suaminya, Kinaryajapa. Dijelaskan bahwa matahari itu memancarkan sinar terang yang menghidupi semua makhluk. Jadi, pemimpin itu harus menjamin kehidupan seluruh rakyat.
Kemudian bumi, itu memiliki sifat murah hati dan jujur apa adanya. Memberikan hasil kepada siapa saja yang mengolah dan memeliharanya. Contohnya, ditanam padi akan menghasilkan padi. Maknanya, pemimpin itu harus konsisten dan amanah serta tidak pernah mengecewakan rakyat.
“Yang ketiga samudra. Laut itu luas dan dalam, menampung apa saja yang datang pada dirinya. Seorang pemimpin hendaknya sabar dan lapang dada. Selalu legawa dan penuh kasih kepada rakyat.”
Alam yang keempat, angin. Sifat angin itu ada di mana-mana. Tidak ada tempat atau ruang yang tidak tersentuh. Keberadaannya membawa kesegaran. Maka, jadi pemimpin itu jangan sampai terpisah dengan rakyat, hadir di mana pun tanpa sekat dan selalu mendatangkan kebahagiaan.
“Kalau begitu, perilaku watak angin itu blusukan ya, Mak,” sela Limbuk.
“Pemimpin mesti berada di tengah-tengah rakyat, jadi benar-benar tahu kondisi riil masyarakat,” tutur Cangik.
“Mak, ternyata pinter.”
“Husss… ini ada bukunya, saya hanya membaca warisan bapakmu.”
Selanjutnya watak angkasa. Langit itu sangat luas, tidak terbatas. Pemimpin seyogianya memiliki keluasan hati dan pikiran. Dengan demikian akan senantiasa arif dan bijaksana, serta legawa dengan segala kritik yang dialamatkan kepadanya.
“Watak alam keenam ialah bintang atau kartika. Bintang yang bertebaran di langit itu berkelip indah kemilauan. Posisinya dapat dijadikan petunjuk atau pedoman menentukan arah. Jadi, pemimpin hendaknya bisa menjadi teladan yang baik dalam setiap ucapan dan tindakan.”
Berikutnya, watak bulan. Di waktu malam, bulan bersinar lembut menenteramkan. Pemimpin mesti bisa membangkitkan semangat dan harapan yang indah kepada rakyatnya yang sedang berada dalam situasi suka dan duka.
Terakhir, api. Wataknya membakar apapun hingga lebur jadi abu. Pemimpin harus tegas dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Siapa pun yang salah harus dihukum tanpa pandang bulu.
“Jadi, sekali lagi ya Nduk, memilih pemimpin itu yang memiliki kecerdasan lahir dan batin. Jadi, jangan hanya dilihat dari kepintarannya saja tetapi juga wataknya,” pesan Cangik. ***