Ono Sarwono (Kader NasDem)
PANDAWA ibarat hidup tiada sepi berkorban untuk menggapai kemuliaan. Hampir sepanjang hayat, kelima putra mendiang Raja Astina Prabu Pandu Dewanata-Kunti/Madrim tersebut mengorbankan segalanya, baik harta benda maupun nyawa.
Di antara episode pengorbanan dramatis dipersembahkan Werkudara, panenggak (anak laki kedua) Pandawa, ketika harus mengikhlaskan Antareja. Anak sulungnya itu diracut atau dikorbankan nyawanya demi kejayaan Pandawa.
Antareja ialah anak Werkudara dengan Nagagini. Ketika lahir ia tidak ditunggui ayahnya yang sedang laku prihatin ngulandara, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ibu dan kakeknya yang menggulawentah hingga dewasa.
Dalam perut bumi
Syahdan, Pandawa lolos dari aksi pembakaran kala menginap di Bale Sigala-gala sehari sebelum diagendakan menerima takhta Astina dari Drestarastra. Uaknya itu raja ad-interim pasca-Pandu wafat ketika Puntadewa dan adiknya masih belia.
Peristiwa di pagi buta itu merupakan skenario pembinasaan Pandawa yang diotaki Sengkuni. Kekejaman tersebut sebagai upaya Kurawa menguasai Astina. Akan tetapi Pandawa selamat dari kobaran api dengan memasuki goa yang tiba-tiba muncul di Bale Sigala-gala.
Werkudara, yang menggendong keempat saudaranya serta ibunda, dituntun seekor musang meniti lorong gelap nan panjang hingga sampai di suatu tempat indah di perut bumi yang bernama Kahyangan Saptapratala. Hewan penolong itu jelmaan Sanghyang Antaboga, dewa penyangga bumi.
Selama dalam persembunyiannya, Werkudara berkenalan dan jatuh hati kepada putri Antaboga, Nagagini. Karena sama-sama cinta, kedua insan itu lalu menikah. Sayangnya, Pandawa tidak bisa berlama-lama di Saptapratala. Werkudara terpaksa meninggalkan istri yang saat itu sudah mengandung.
Maka, ketika melahirkan, Nagagini tidak didampingi suami. Eyangnya memberi nama cucunya Antareja. Sejak kecil hingga dewasa, Antareja tidak mengenal bapaknya. Ia mengetahui Werkudara dari cerita ibu dan kakeknya.
Pada suatu hari, Antareja minta izin ingin sungkem kepada ayahnya. Ibunya memberi bekal cincin Mustikabumi, yang kesaktiannya mampu melindungi dari kematian selama tubuh menyentuh bumi. Pusaka itu juga bisa untuk menghidupkan semua makhluk yang mati bukan takdirnya.
Sedangkan kakeknya mewariskan pusaka Napakawaca sehingga cucunya kebal senjata apa pun. Selain itu, juga ajian upas yang membuat Antareja bisa menghabisi musuh atau siapa saja hanya dengan menjilat bekas telapak kakinya.
Masih ada keistimewaan lain pada diri Antareja. Ia bisa hidup dalam lapisan bumi sehingga keberadaannya tidak bisa diketahui oleh siapa pun. Dengan kesaktiannya itu, Antareja menjelma menjadi titah yang sangat menggiriskan.
Singkat cerita, Antareja berhasil bertemu bapaknya yang tinggal di Kesatrian Jodipati. Sejak saat itu, Antareja bersama adiknya, Gathotkaca dan Antasena, serta putra Pandawa lainnya, menjadi benteng Amarta dari segala gangguan asing.
Menangis
Menjelang Bharatayuda, Kresna, botoh Pandawa, memperkirakan bakal terjadi kengerian yang tiada terperi bila Antareja terjun dalam peperangan. Siapa saja bisa menjadi korbannya karena ia dikhawatirkan tidak bisa membedakan bekas tapak kaki musuh atau milik keluarga Pandawa di Kurusetra.
Maka agar Bharatayuda terwujud dengan baik serta Pandawa unggul, Antareja harus dikorbankan sebelum perang berlangsung. Ia dijadikan tabuk tawur atau persembahan untuk kemenangan Pandawa, yang berarti tegaknya keadilan.
Werkudara kemudian diberi tahu dan diminta merelakan putranya. Pada awalnya kesatria perkasa yang pernah menjadi pendeta bergelar Bima Suci itu menolak dan menyodorkan dirinya saja yang dikorbankan. Kresna menjelaskan ini pepesthen (kodrat) yang harus diterima bagaimanapun pahitnya.
Tentu saja Werkudara sangat sedih harus kehilangan putranya. Apalagi, ia merasa bersalah tidak ikut membesarkan anak pertamanya itu. Pun Antareja selama hidup tidak sekalipun merepotkan orang tua, bahkan rumah pun membangun sendiri di Jangkarbumi.
Tapi, lagi-lagi Kresna membesarkan hati Werkudara. Itu skenario jagat. Tidak ada yang perlu digetuni (disesali) karena pengorbanan itu diridai sang Maha Pencipta. Keikhlasan yang tulus membuat kesempurnaannya laku urip.
Werkudara akhirnya manut dan legawa anak yang disayangi mendahuluinya. Ia percaya Kresna, kakak sepupunya, itu bukan manusia biasa. Selain sebagai titah titisan Bathara Wisnu, ia juga pemegang Jitabsara, kitab skenario Bharatayuda.
Pada hari yang ditentukan, Kresna memanggil Antareja. Kepada keponakannya itu dijelaskan makna Bharatayuda, yaitu perang suci yang akan menentukan kebaikan unggul atas kezaliman. Orang yang berani dan rela berkorban untuk keutamaan bakal mengunduh kemuliaan.
Kresna bertanya kepada Antareja, apakah bersedia berkorban. Pemuda bermata tajam, yang telah bersumpah mempersembahkan jiwa raganya demi Pandawa, itu menjawab dengan tegas, ikhlas.
Antareja lalu disuruh menjilat bekas tapak kakinya sendiri. Tanpa ragu, perintah uaknya dituntaskan dan akhirnya mati. Werkudara langsung tersedu-sedu melihat anaknya terkulai. Ia lalu menggendongnya kesana-kemari bak orang linglung.
Keimanan kuat
Kresna segera mengingatkan Werkudara. Kesedihan itu manusiawi tapi jangan sampai telantur-lantur sehingga hilang kewaspadaan. Pandawa
harus segera berkemas mempersiapkan diri karena Bharatayuda sudah berada di depan mata.
Werkudara tersadarkan dan kembali mendapat semangat setelah digerujuk nasihat Kresna. Buru-buru istrinya, Nagagini, dikabari bahwa putranya dijadikan korban demi keadilan jagat. Jasad Antareja kemudian dikebumikan di Jangkarbumi.
Demikian kisah singkat tentang pengorbanan Werkudara dan Nagagini yang mengikhlaskan putranya demi terwujudnya kemaslahatan jagat. Apa pun bentuknya, berkorban itu tak mudah. Hanya yang memiliki keimanan kuatlah yang bisa melakukannya. ***