18Tube.tv is a free hosting service for porn videos. You can create your verified user account to upload porn videos to our website in several different formats. 18tube Every porn video you upload will be processed in up to 5 working days. You can also use our embed code to share our porn videos on other websites. On 18Tube.tv you’ll also find exclusive porn productions shot by ourselves. Surf around each of our categorized sex sections and choose your favorite one: amateur porn videos, anal, big ass, blonde, brunette, etc. You will also find gay and transsexual porn videos in their corresponding sections on our website. Watching porn videos is completely free!

Lebaran di Madukara

Ono Sarwono (Kader NasDem)

CANGIK dan Limbuk lahap menyantap nasi dengan lauk opor ayam, sambel goreng, dan kerupuk udang sepulang sembahyang Id di Lapangan Madukara. Kenapa bukan kupat? Tradisi kampung, masak kupat itu sepekan setelah Idul Fitri yang biasa disebut Lebaran Kupat atau Bakda Kupat.

Perempuan paruh baya dan anak semata wayang itu ber-Idul Fitri sesuai dengan keputusan pemerintah Amarta, tepat 30 hari setelah berpuasa Ramadan. Sehari sebelumnya, sebagian warga sudah berlebaran mengikuti keputusan sebuah organisasi keagamaan.

Di Amarta, berbeda hari Idul Fitri bukan pertama kali. Malah ada kelompok kecil warga yang dua hari sebelumnya sudah berlebaran. Meski berbeda, warga rukun, saling menghormati dan menghargai. Tidak ada yang mengklaim paling benar dan menyalahkan liyan yang berbeda.

Seperti yang sudah-sudah, setiap datang momen bahagia ini Cangik selalu teringat suaminya, Kinaryajapa, yang meninggal sekitar seperempat abad lalu. Ketika itu Limbuk masih dalam kandungan berusia tujuh bulan.   

“Semoga almarhum bapakmu mapan di surga ya Nduk (genduk), “ ujar Cangik sambil menengadahkan kedua tangan dan kepala.

“Amin… Mak,” Limbuk mendoakan.

Sehari-hari Cangik bekerja sebagai abdi Kesatriyan Madukara. Profesi itu dilakoni sejak asuhannya, Wara Sembadra, putri kedhaton Mandura, dipersunting Arjuna. Sebelumnya, Cangik mengabdi di istana Mandura bersama mendiang suaminya.

“Mak, kenapa ya hari raya Idul Fitri jadi berbeda-beda?” Limbuk membuyarkan lamunan maknya dari kenangan lama bersama suami ketika masih hidup.

“Ya, mungkin karena cara menentukannya berbeda, Nduk.”

Cangik tidak bisa menjelaskan cara berbeda yang dimaksud karena memang tidak mengerti. Ia hanya mengatakan bisa memahami salah satu cara yang digunakan itu, hikmatnya, gambaran kebiasaan orang atau kelompok tertentu dalam bersikap.

“Maksudnya bagaimana, Mak?”

Menurut Cangik, dalam banyak hal sebagian orang melakukan sesuatu, bahkan terkesan mengada-ada, semata demi mantapnya hati. Contohnya, suaminya dulu sudah tahu ban sepedanya gembos tetapi tetap dipijat, berulang kali, untuk membuktikan benar-benar gembos.

Seperti itu, lanjut Cangik, perumpaan bagi mereka yang menentukan Idul Fitri dengan cara rukyat. Sebenarnya, mereka sudah tahu karena secara ilmiah posisi hilal sudah pasti diketahui, tetapi guna maremnya hati, hilal perlu dilihat langsung. Bila sudah benar-benar terlihat jelas, baru hakulyakin.

Sementara itu, ada pihak lain yang tidak perlu melongoki hilal. Berdasarkan ilmu (hisab), posisi hilal itu sudah bisa diketahui dengan pasti karena peredaran planet serta pergerakan benda-benda di langit itu konstan.

 “Jadi, ibaratnya, pihak lain itu sudah tahu kondisi ban sepedanya gembos tapi tidak perlu memijat untuk memastikannya. Itu sia-sia, membuang tenaga.”

“Ah…Mak ini ada-ada saja, bercanda!” kata Limbuk. “Mestinya para ahli itu menentukan hari Lebaran berdasarkan pada dalil.”

“Ya, itu sih sudah pasti Nduk. Mereka orang-orang pintar dan tidak ada yang salah. Maaf ya Nduk wong saya ini memang orang cubluk (bodoh). Saya awam, yang saya omongkan itu hanyalah guyon. Sekali lagi, mohon maaf bila keliru.”

“Tapi, menurut saya, di luar keyakinan masing-masing, berbeda hari raya Idul Fitri itu mengurangi kekhusyukan dan keindahan. Karena sebagian warga sudah salat Id dan makan, sebagian yang lain masih gentur berpuasa,” keluh Limbuk serius.

Limbuk sebagai rakyat kecil berharap para pemangku kepentingan (stakeholder) bersedia duduk bersama berembuk mempersatukan cara dan metode penentuan 1 Syawal sehingga bisa mengindari perbedaan hari raya Idul Fitri.

“Kalau itu bisa, bagus Nduk. Tapi, biasanya kalau soal keyakinan itu sulit. Apalagi, bila mencari maremnya hati itu tadi,” ujar Cangik tersenyum.

“Tapi bila semangatnya kebersamaan, bukanlah tidak mungkin, Mak. Para pendiri negara ini telah memberi contoh. Betapa keras perbedaan mereka ketika membuat konsititusi negara, tapi dengan semangat nasionalisme, semuanya menjadi satu.”

Lebih dari itu, lanjut Cangik, Lebaran di Amarta juga merupakan aktivitas budaya. Misalnya, sore sehari sebelum Lebaran tiba ada tradisi kenduri. Bila Lebaran-nya masih teka-teki hingga detik-detik akhir, tradisi itu menjadi kacau karena butuh persiapan.

Kemudian, uniknya lagi, dalam Lebaran itu ada juga tradisi saling berkunjung dan atau mengunjungi orang yang dihormati atau dituakan untuk bermaafan. Lalu, bagaimana kalau Lebaran berbeda? Ini kadang juga antara orangtua dan anak Lebaran-nya tidak bareng.

Padahal, menurut Cangik, budaya yang berwujud adat dan tradisi itu merupakan ‘roh’ peradaban. Masyarakat tanpa budaya akan kerontang. “Apalagi, beragama itu juga bicara tentang kemanusiaan, dan manusia itu pasti berbudaya.”

“Mak, kok pinter!” sergah Limbuk.

“Saya pernah dengar dari seorang (pidato) ustadz.”

“Mak, khotbah khatib salat Id tadi juga bagus ya.”

“Iya, senang mendengarnya. Biasanya, menjelang tahun politik seperti saat ini setiap panggung kerap dimanfaatkan untuk ceramah (kepentingan) politik. Apa yang kamu ingat dari khotbah tadi, Nduk?”

Limbuk berujar isi khotbah yang merasuk tulang sumsumnya ialah bahwa berpuasa membentuk karakter jujur. Ini modal utama bangsa menggapai negara baldatun toyyibatun warobbun ghofur, yang adil-makmur, ayem-tenteram serta senantiasa mendapat ampunan sang Maha Pencipta.

“Tapi, di Amarta (orang) jujur masih langka,” kata Cangik seraya membetulkan kemben dan mengingatkan Limbuk agar segera bersiap bersama-sama sowan Ki Semar Badranaya di Klampisireng untuk bermaaf-maafan.***

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top