JATENG.NASDEM.ID – Pembangunan kebudayaan merupakan langkah strategis dalam pengembangan politik bangsa. Karena budaya dapat menjadi kontrol terhadap politik ketika pada praktiknya menanggalkan martabat dan integritas manusia.
“Kebudayaan mengandung pola perilaku sosial masyarakat dan politik merupakan salah satu bagian dalam dinamika kebudayaan. Sehingga pengembangan budaya diharapkan mampu mempengaruhi pembangunan politik menjadi lebih baik,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Gerakan Budaya dan Partai Politik yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama DPP Partai NasDem, Rabu (31/8).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Muhammad Farhan (Anggota DPR RI – Penggiat Kebudayaan), Sujiwo Tejo (Budayawan), Christine Hakim (Pekerja Seni) dan Punto A. Sidarto (Praktisi Permuseuman – Cagar Budaya) sebagai nara sumber.
Selain itu hadir Ivanhoe Semen (Ketua Bidang Hubungan Sayap dan Badan DPP NasDem – Penggiat Kebudayaan) dan Agus Mulyadi (Direktur Program dan Pengembangan Metro TV) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, budaya bukan sebuah konsep abstrak tetapi sebuah realitas yang berwujud cara hidup suatu kelompok masyarakat.
Dari cara hidup itu, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, terbentuk karya-karya intelektual, perumusan nilai moral, tatanan kehidupan yang diwariskan turun-temurun.
Bersumber dari dinamika pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jelas Rerie, Pancasila sebagai norma dasar merupakan wajah kebudayaan Indonesia yang memungkinkan pelestarian identitas kelompok, sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas keindonesiaan warganya.
Dengan demikian, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, setiap dinamika bernegara, termasuk berpolitik dalam konteks Indonesia mesti bertolak dari sumber nilai dan norma utama kemanusiaan dan kebudayaan Indonesia.
Di tengah arus modernisasi, ujar Rerie, politik cenderung mengesampingkan nilai kemanusiaan. Padahal, tambahnya, dinamika manusia di setiap sektor kehidupan selalu berorientasi untuk kebaikan manusia, untuk kesejahteraan masyarakat, untuk mencapai cita-cita bersama.
Menurut Rerie, kesadaran mutlak perlu ditanamkan kepada setiap warga negara bahwa budaya merupakan
representasi seluruh diri manusia Indonesia yang utuh dan politik adalah cara untuk menempatkan manusia Indonesia pada kedudukan tertinggi melalui semangat politik kebangsaan.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi NasDem, Muhammad Farhan berpendapat bahwa budaya tidak hanya menghibur, tetapi bisa mencairkan suasana di tengah polarisasi politik yang terjadi di masyarakat.
Budaya, jelas Farhan, harus memiliki peran yang dapat menyatukan masyarakat. Artinya, tegas dia, partai politik yang memiliki peran langsung atau tidak langsung harus memperhatikan perkembangan budaya di Indonesia dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang memungkinkan budaya berkembang dengan baik.
Dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, ujar Farhan, ada 10 objek budaya yang diamanatkan untuk diperhatikan antara lain soal adat istiadat, manuskrip, olah raga tradisional, bahasa dan ritus.
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, jelas Farhan, sebagai salah satu produk politik dalam bentuk kebijakan yang bertujuan mendorong pelestarian kebudayaan yang kita miliki.
Menurut pekerja seni, Christine Hakim, film, tari, dan karya seni rupa merupakan produk budaya. Kebudayaan itu bermakna luas tentang manusia Indonesia termasuk masalah pendidikan di dalamnya.
Indonesia sebagai negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 1.000 etnis, ujar Christine, belum pernah memiliki kementerian yang khusus mengurusi kebudayaan, selalu saja digabungkan dengan urusan-urusan sektor lainnya.
“Tidak cukup hanya setingkat direktorat untuk urus kebudayaan di negara yang memiliki kebudayaan yang luar biasa seperti Indonesia,” tegas Christine.
Budayawan Sujiwo Tejo sepakat untuk mendukung Christine dalam keseriusan membangun kebudayaan Indonesia.
Namun, Sujiwo Tejo, tidak sepakat bila kebudayaan diurus oleh satu kementerian. Karena, jelas dia, segala urusan itu mengandung sisi kebudayaan sepanjang dalam prosesnya lewat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sujiwo Tejo menegaskan persetujuannya jika partai politik melakukan gerakan kebudayaan dengan menumbuhkan kembali iklim yang mendukung munculnya kegiatan kebudayaan sehingga dimungkinkan lahirnya produk budaya baru.
Menurut dia, tumbuhnya lembaga Kebudayaan diharapkan mampu merangsang seniman-seniman tradisional untuk berpikir sesuai jamannya.
Praktisi Permuseuman dan Cagar Budaya, Punto A. Sidarto berpendapat gerakan budaya merupakan gerakan sosial untuk pertumbuhan budaya yang berlangsung dalam jangka panjang.
Menurut Punto, budaya nasional Indonesia unsur-unsur utamanya adalah bahasa Indonesia dan batik.
Saat ini, tegas Punto, salah satu ciri kuat budaya Indonesia justru sangat dipengaruhi budaya modern-Barat. Karena, tambahnya, sistem politik, pendidikan dan kesehatan di Indonesia disusun atas dasar sistem dan budaya Barat.
Masalah muncul, ujar Punto, ketika saat ini budaya Barat yang berbasis rasionalisme mendekati titik jenuh. Akibatnya, jelasnya, pelemahan budaya nasional saat ini dipengaruhi oleh pembentukan aliansi supra nasional (Uni Eropa, Asia Tenggara atau Asia Timur). Sementara, ujarnya, budaya lokal menguat karena lebih dekat dengan masyarakat.
Dalam kondisi itu, menurut Punto, partai politik secara internal harus mampu membangun budaya politik sesuai visi dan misi landasan negara.
Selain itu, partai politik juga harus mampu merumuskan dan memperjuangkan politik kebudayaan dan strategi kebudayaan Indonesia yang telah ditetapkan.
Direktur Program dan Pengembangan Metro TV, Agus Mulyadi berpendapat kebudayaan itu bukan hanya ruang atau ekspresi dari aspek estetika tetapi juga keresahan publik, termasuk keresahan terhadap partai politik.
Kondisi itu, tegas Agus, harus diantisipasi dengan baik oleh para politisi di partai politik lewat lahirnya sejumlah kebijakan yang mampu menjawab keresahan masyarakat tersebut.
Ketua Bidang Hubungan Sayap dan Badan DPP Partai NasDem, Ivanhoe Semen berpendapat membangun kebudayaan adalah bagian dari membangun peradaban.
Menurut Ivanhoe, hantaman budaya global yang berujung pada krisis identitas anak bangsa disebabkan proses akulturasi yang memunculkan budaya baru.
Krisis identitas, tambah Ivanhoe, terjadi karena akar budaya anak bangsa yang belum kuat dan tidak siap sehingga terkikis oleh nilai-nilai budaya baru yang muncul.
Jurnalis senior, Saur Hutabarat berpendapat menghadapi perkembangan kebudayaan global yang cepat seiring kecepatan perkembangan teknologi informasi, perlu politik kebudayaan dengan politik anggaran yang kuat, sehingga harus didukung lahirnya Kementerian Kebudayaan di negeri ini.*