JATENG.NASDEM.ID – Kaum disabilitas di Indonesia saat ini dihadapkan dengan berbagai persoalan seperti pendidikan, akses terhadap infrastruktur publik, layanan kesehatan, dan lain sebagainya. Mengutip pernyataan dari World Health Organization (WHO) bahwa disabilitas juga merupakan masalah hak asasi manusia.
Mereka juga rentan mengalami diskriminasi dan marginalisasi. Penyandang disabilitas juga perlu biaya tambahan dari perawatan medis, alat bantu atau dukungan pribadi saat menghadapi hambatan yang lebih besar untuk bekerja. Terlebih terdapat 30 juta warga disabilitas di Tanah Air.
Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem Kak Amelia Anggraini mengatakan bahwa pelaksanaan sejumlah kebijakan perlu ditingkatkan. Khususnya pelaksanaan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang menjadi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Indonesia juga diketahui telah menandatangani Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 2007 lalu. 10 November 2011 pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan mengeluarkan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Kemudian pemerintah mengeluarkan PP Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
“Undang-undang yang baru menggunakan pendekatan sosial dan HAM yang artinya penyandang disabilitas dipandang sebagai bagian dari keberagaman yang memiliki hak asasi yang sama dan setara dengan individu lainnya,” ujar Kak Amel dalam pemaparannya di Seminar Parenting Talk (Anak Bekebutuhan Khusus) yang digelar oleh DPW NasDem Jawa Timur, Minggu (3/10).
Kak Amel menjelaskan, ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas yang dialami penyandang disabilitas ini tercipta karena kekurangan lingkungan dalam mengakomodasi perbedaan yang dimiliki penyandang disabilitas sehingga menghambat mereka untuk berpartisipasi secara penuh.
Demi menciptakan ruang inklufis bagi seluruh masyarakat termasuk para penyandang disabilitas, Kak Amel menilai perlunya mewujudkan masterplan dan pola pengawasan yang terukur dari tiap kebijakan.
“Begitu lengkapnya peraturan guna mewujudkan inklusifitas terhadap penyandang disabilitas, pemerintah idealnya mulai mengembangkan masterplan strategi mewujudkan pembangunan inklusif penyandang disabilitas di Indonesia,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa masterplan merupakan pedoman bagi berbagai pihak untuk menerapkan prinsip dasar pembangunan inklusif di berbagai sektor melalui pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas atas akses terhadap berbagai layanan dasar dan pekerjaan tanpa stigma.
“Masterplan perlu memuat strategi peningkatan keberdayaan penyandang disabilitas dan pengutamaan isu disabilitas,” ujar Kak Amel menekankan.