JATENG.NASDEM.ID – Fenomena kekerasan seksual menjadi isu yang tak bisa diremehkan begitu saja. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KepenPPPA) mencatat ada 7.191 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak pada 2020.
Kasus kekerasan seksual ini layaknya sebuah fenomena gunung es yang tampak di permukaan saja. Banyak korban yang enggan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual sebab masyarakat telah lekat dengan budaya patriarki yang melekatkan stereotip pada korban.
Akibatnya banyak kasus kekerasan tak pernah dilaporkan dan diungkap. Berangkat dari fenomena ini, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan bahwa Indonesia saat ini tengah darurat kekerasa seksual dan perlu payung hukum yang jelas demi melindungi korban.
“RUU ini perlu disahkan untuk mengisi ruang kosong karena tak ada saat ini belum ada payung hukum yang spesifik untuk memberikan efek jera. Kita tak bisa menutup mata bahwa budaya kita adalah budaya patriarki. Sehingga menempatkan korban pada posisi ‘terdakwa ‘ yang disalahkan, menutupi karena dianggap mempermalukan keluarga,” ujar Kak Lestari dalam pernyataannya Rabu (11/8).
Banyak masyarakat yang menganggap bahwa kekerasan sesual merupakan aib keluarga sehingga memilih diam. Bahkan dalam beberapa kasus, korban kekerasan seksual dipaksa menikah dengan pelaku untuk menutupi aib keluarga.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih belum memahami urgensi adanya RUU PKS ini. Keberadaan RUU PKS juga menyulut narasi negatif di masyarkat yang menuding hanya untuk kepentingan perempuan semata dan dianggap membawa nilai-nilai Barat.
Dengan tegas Kak Lestari yang akrab disapa Kak Rerie menegaskan bahwa RUU PKS ini adalah usaha untuk melindungi masyarakat baik perempuan maupun laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak dari kekerasan seksual yag menitikberatkan pada perlindungan korban.
“Di alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sehingga Negara harus hadir, memberikan perlindungan pada perempuan, anak, dan korban, serta laki-laki,” tegasnya.
Sehingga jika RUU yang telah diusulkan sejak 2016 lalu ini nantu disahkan, maka akan ada payung hukum yang jelas, terkait penindakan, perlindungan, pendampingan, dan ini bukan hanya diperlukan bukan hanya korban, tetapi juga pelaku.
“Pada dasarnya jika UU ini digolkan, harus ada edukasi publik agar ini menjadi kebutuhan bersama. Dan harus ada pemahaman yang betul agar tidak salah persepsi. Perlu mengedukasi semua pihak agar betul-betul memahami dan mengerti,” ia menekankan.
Ia yakin bahwa usaha memperjuangkan pengesahan RUU PKS ini merupakan ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk melindungu seluruh tumpah darah Indonesia. Menjamin masyarakat dari rasa takut dan mengubahnya dengan rasa aman. Kak Rerie menekankan bahwa menunda pengesahan RUU PKS adalah sebuah penghianatan.
“Ini adalah penghianatan tergadap kemanusiaan, ini adalah dosa kita kalau tidak bisa mengawal dan masuk RUU PKS ini menjadi undang-undang. Jika berbicara merdeka, berarti kita berbicara merdeka dari ancaman dan rasa takut,” politikus NasDem itu menegaskan.
Partai NasDem menjadi salah satu partai yang menyuarakan secara tegas agar RUU PKS ini segera disahkan mengingat urgensinya. Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini akan membawa Indonesia setara dengan Negara-negara lain yang juga memberikan jaminan perlindungan pada para korban kekerasan seksual.