SIGI, (21 Januari): Kepekaan menangkap kejanggalan yang terjadi di tengah masyarakat menjadi tuntutan sebagai wakil rakyat. Kegelisahan menjadi ujung tombak untuk merestorasi segala sesuatu yang dihadapi. Itulah yang sedikitnya dialami dan dilakukan Ketua Fraksi NasDem DPRD Sulawesi Tengah, Muh. Masykur ketika menyaksikan pengrajin batu bata merah di Lembah Palu, Desa Kabobona Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi Sulawesi tengah.
Dituturkan Masykur, pada sekitar era tahun 1960an daerah ini sudah memproduksi bahan dasar bangunan jenis batu bata merah. Orang tua pertama sebagai penggagas utama pembuatan batu bata merah di desa Kabobona digelari sebagai Guru Gente. Selain di Desa Kabobona, Guru Gente juga membuat batu bata merah di daerah sekitaran jalan Anoa, yang dikenal dengan nama Batu Bata Indah.
Dari Guru Gente inilah tradisi profesi sebagai pengerajin batu bata merah diwariskan secara turun temurun di Desa Kabobona. Kini mayoritas warga desa ini menyandarkan aktifitas usaha ekonomi keluarga melalui kerajinan batu bata merah, sekitar 80 persen kurang lebih. Dari laki-laki, perempuan bahkan anak-anak usia sekolahan ambil bagian dan peran dalam aktifitas pembuatan bahan dasar bangunan ini.
“Melalui Fraksi NasDem, kami ingin mendorong pemerintah daerah untuk melakukan semacam intervensi dalam upaya memberi perlindungan dan jaminan harga dan pasar atas usaha ekonomi rakyat,” ujar Masykur, di Sigi, Sabtu, (20/1).
Menurut Ancas, warga yang ditemui di lokasi, faktor utama usaha batu bata merah ini jadi primadona usaha rumah tangga warga karena kadar liat tanah di desa ini cukup tinggi dibanding desa-desa lainnya di Kab. Sigi. Sehingga kurang menjanjikan jika dijadikan usaha pertanian sebagai sandaran utama.
Nampak kerajinan pembuatan batu bata merah tumbuh sebagai sandaran utama ekonomi karena didukung dengan ketersedian sumber daya dan kebutuhan permintaan batu merah yang terus meningkat. Diperkirakan setiap bulannya produksi batu bata merah mencapai 15.000 biji. Dengan harga jual per biji Rp. 350-500.
“Yang ironis di jenis usaha kerajinan batu bata merah ini adalah tidak ada standar harga. Standar harga seolah menjadi liar. Ya, syukur-syukur jika harga mencapai Rp. 500 per satu batu bata merah. Tapi itupun jarang terjadi. Karena kadangkala kalau ada pesanan pembeli yang datang sudah sepakat dengan harga tapi tiba-tiba beralih mengambil barang ditempat lain karena harga Rp. 400-450,” sahut Ancas, salah seorang pengrajin batu bata merah.
Lebih lanjut Ancas menuturkan, kondisi seperti sering terjadi karena desakan kebutuhan hidup sehingga dijual dengan harga seperti itu. Namanya pembeli sudah pasti mencari barang yang lebih murah sekalipun awalnya sudah sepakat, tuturnya.
Jadi terkadang kalau seperti itu situasinya syukur-syukur kalau ada untung. Rata-rata kembali pokok, bahkan selalu tidak kembali modal.
Masykur yang juga Ketua DPD NasDem Sigi menjelaskan, mau tidak mau dibutuhkan sentuhan Pemerintah Daerah untuk memberi jaminan kelangsungan usaha kerajinan batu bata merah.
“Caranya adalah memutus mata rantai penghubung antara penjual dan pembeli. Sebab, kerap kali penghubung ambil untung dari situasi ini,” ungkap Masykur.
Para pengrajin batu bata merah merah berharap salah satu peran Pemda diharapkan memerintahkan kepada pihak kontraktor pembangunan membeli batu bata merah di wilayah dimana mereka sedang melaksanakan pembangunan dengan harga yang lebih layak, sesuai standar ketetapan Pemda. Bukan mengambil barang ditempat lain karena lebih murah.
Paling tidak ini jadi salah satu cara yang dapat dilakukan sebagi wujud kepedulian dan penghargaan atas pelaku usaha kerajinan batu bata merah.(*)
SUMBER: https://www.partainasdem.id/read/4013/2018/01/21/belajar-keteguhan-guru-gente