18Tube.tv is a free hosting service for porn videos. You can create your verified user account to upload porn videos to our website in several different formats. 18tube Every porn video you upload will be processed in up to 5 working days. You can also use our embed code to share our porn videos on other websites. On 18Tube.tv you’ll also find exclusive porn productions shot by ourselves. Surf around each of our categorized sex sections and choose your favorite one: amateur porn videos, anal, big ass, blonde, brunette, etc. You will also find gay and transsexual porn videos in their corresponding sections on our website. Watching porn videos is completely free!

Tanggalkan Gelar

Ditulis oleh Ono Sarwono (Sekretaris Dewan pertimbangan DPW NasDem Jateng)

DI tengah banyak orang berlomba membanggakan diri memasang gelar profesor di depan nama mereka, Rektor UII Yogyakarta, Fathul Wahid, bersikap sebaliknya. Ia tidak ingin jabatan dan gelar akademik menghiasi namanya untuk urusan apapun.

Wahid menyatakan bahwa profesor itu tanggung jawab akademis dan moral, bukan sesuatu yang diglorifikasi dan disakralkan. Ia mengaku prihatin terhadap karut marut pemberian gelar guru besar karena banyaknya orang berburu lewat berbagai siasat untuk status diri.

Dalam cerita wayang, tokoh yang tidak ingin status dan gelar dicantumkan pada nama dicontohkan oleh Semar Badranaya dan Togog Tejamantri. Malah, keduanya yang bergelar bathara (dewa), mendegradasikan status mereka sebagai rakyat jelata.

Turun ke marcapada

Alkisah, Sanghyang Tunggal yang beristri Bathari Rakatawati memiliki tiga anak, yakni Bathara Antaga, Bathara Ismaya, dan Bathara Manikmaya. Ketika dewasa, anak-anaknya itu diberi tugas mengelola ketenteraman kehidupan semua makhuk.

Si bungsu Manikmaya menjadi pemimpin kahyangan, dunianya para bathara dan bathari. Adapun dua kakaknya diperintahkan turun ke marcapada. Antaga membimbing titah golongan ‘kiri’, sedangkan Ismaya momong golongan ‘kanan’.

Antaga merasa tak nyaman mengemban amanah itu dengan tetap mempertahankan gelar sebagai bathara. Ia tanggalkan jabatan itu dan mengubah penampilan seperti pada umumnya titah manusia dan mengganti nama menjadi Togog Tejamantri.

Dalam menjalankan tugas, Togog ditemani Bilung yang terwujud dari nafsunya. Titah yang dibimbing digambarkan sebagai makhluk jahat atau angkara murka. Keduanya memberi petuah dan nasihat tentang perikehidupan yang benar.

Bagi Togog, penugasannya ke marcapada sebagai pengabdian yang tidak diukur dengan tingkat keberhasilan mengubah perilaku buruk menjadi baik. Tapi pada keistikamahannya menjalankan amanah, menyampaikan pesan-pesan kebaikan.

Dalam perkeliran, memang tidak ada momongan Togog yang menuruti nasihatnya. Para penggembala nafsu buruk itu biasanya hanya meminta info terkait dengan berbagai hal kehidupan. Namun, mereka masa bodoh dengan apapun ujaran Togog.

Para tokoh ‘kiri’ itu tidak menyadari atau tidak mau mengerti bahwa Togog sejatinya dewa mangejawantah. Hanya karena menyamar sebagai rakyat biasa, Bathara Antaga itu tidak pernah diindahkan atau mendapatkan perhatian.

Dalam kearifan lokal, keberadaan Togog di lingkungannya itu ibarat peribahasa Wastra lungset ing sampiran (kain indah yang kusut di gantungan atau lemari). Ini kiasan bahwa  ‘kepakarannya’ disia-siakan, pengabaian yang sangat disayangkan.

Sangat dihormati

Sementara itu, Bathara Ismaya, seperti saudara tuanya, Bathara Antaga, ketika turun ke marcapada juga menanggalkan gelar dan status sosialnya sebagai dewa. Ia juga mangejawantah sebagai rakyat yang mengabdi kepada titah berbudi luhur.

Tentu saja fisiknya juga berubah, tidak ramping dan tampan seperti semula tetapi pendek dan nyaris bulat dengan raut muka tua. Namanya pun diubah jadi Semar. Nama lainnya, Badrayana, Janggan Smarasanta, Nayantaka, Dhudha Manang Unung, dan Durdyah Puntaprasanta.

Atas kehendak Sanghyang Wenang, Semar dalam mengemban amanah ditemani sosok yang tercipta dari bayangannya yang diberi nama Bagong. Lalu dalam perjalanannya, Semar memiliki dua anak angkat, Gareng dan Petruk.

Menurut kisahnya, pertama kali Semar momong Resi Manumayasa, nenek moyang Pandawa, yang dikenal sebagai pendiri Pertapaan Saptaarga. Namun, peran Semar banyak terceritakan kala mengasuh Pandawa dan putra-putranya.

Pandawa yang bertakhta di Amarta, negara yang didirikan dengan swasembada, sesungguhnya memberi berbagai fasilitas kepada Semar dan anak-anaknya untuk tinggal di istana. Namun, Semar memilih menetap di Dusun Klampisireng.

Di desa itu, warga menempatkan Semar sebagai pinisepuh sekaligus pengayom. Pitutur-pitutur (nasihat)-nya menenteramkan. Kesederhanaan dan perilakunya menjadi patuladhan (contoh). Warga pun memberi predikat Ki Lurah Badranaya.

Pandawa mengerti betul bahwa Semar itu bukan titah sawantah (orang biasa) melainkan dewa. Oleh karena itu, meski sehari-hari Semar sebagai rakyat jelata yang melarat, Pandawa tidak sekalipun bersikap tidak sopan atau menyelepekan.

Itulah yang membedakan ‘nasib’ Semar dengan Togog. Bandranaya, walaupun tidak dipuja-puja karena memang tidak mau diperlakukan seperti itu, benar-benar mendapat tempat terhormat dalam jiwa Pandawa. Ia diagungkan sebagai utusan sang Maha Kuasa yang menuntun dan menunjukkan jalan kebenaran.

Semar menjadi sumber bertanya dan mencari solusi ketika Pandawa menghadapi lelakon (masalah). Malah, Semar yang mengerti mobah-mosiking jagat (apa pun yang terjadi di dunia), kadang kala atas kehendaknya sendiri datang ke Istana Amarta memberi nasihat kepada Pandawa[os1] .

Bila Kresna kerap memberi masukan pada tataran pemerintahan, Semar berbuat merawat jiwa kesatria Pandawa dan putra-putranya. Meneguhkan dan menguatkan karakter momongannya sebagai kesatria berkepribadian mulia.

Tanggung jawab besar

Pandawa berulang kali menghadapi berbagai cobaan hidup yang menggores luka dan duka serta terancam jiwanya. Semar hadir menjelaskan takdir. Dikuatkanlah semangat para bendara (tuan)-nya untuk tidak berpaling dari jalur perilaku utama.

Semar berumur panjang. Bahkan, bersama anak-anaknya masih dikisahkan mengabdi (momong) para cucu Pandawa pasca-perang Bharatayuda. Yakni ketika cucu Arjuna atau putra Abimanyu-Utari yang bernama Parikesit menjadi raja di Yawastina, negara baru gabungan Astina dan Amarta.

Demikian sekilas cerita dua dewa yang tidak ingin jabatan dan statusnya melekat pada dirinya. Mereka menjalani hidup layaknya kebanyakan orang tapi punya misi dan tanggung jawab moral memayu-hayuning sagung titah, yaitu membentuk pribadi-pribadi manusia berkualitas. ***


 [os1]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top