Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
CAWAPRES Gibran Rakabuming Raka banyak mendapat penilaian negatif dari nitizen pascadebat pada Minggu (21/1) lalu. Putra pertama Presiden Joko Widodo itu dinilai kemlinthi. Ucapan atau tingkahnya dianggap merendahkan dua cawapres lain lawan debatnya.
Kemlinthi adalah kata Bahasa Jawa yang berarti ‘sok’. Kata lain yang maknanya hampir sama ialah kementhus. Orang yang kemlinthi itu merasa dirinya lebih pintar, lebih unggul, lebih hebat daripada yang lain. Gaya bicara, sikap serta perilakunya meremehkan atau menyepelekan orang lain.
Dalam jagat wayang, tokoh yang dianggap paling kemlinthi ialah Karna Basusena. Bukan hanya kepada Pandawa atau lawan dan musuh, kepada kedua orang tua yang menggulawentah serta mertuanya pun, ia bersikap kemlinthi.
Jadi anak angkat
Karna lahir dari rahim Kunti yang belum siap menjadi ibu. Kunti alias Prita mengandung anak dari benih gaib Bathara Surya akibat keteledorannya merapal aji pameling atau aji punta wekasing rasa cipta tunggal tanpa lawan.
Resi Druwasa, yang memberi ajian, mewanti-wanti Kunti agar tidak sembrana merapalnya. Namun, terdorong nafsu untuk mengetahui kesaktiannya, Kunti diam-diam merapal kekagumannya kepada ‘sang surya’ sehingga kena ‘tuahnya’.
Atas kehendak Prabu Basukunti, ayah Kunti, setelah bayi lahir langsung dilarung di Sungai Gangga. Raja Mandura itu malu putrinya melahirkan anak tapi tak jelas suaminya. Apalagi bila hal itu sampai terdengar rakyat dan tersebar hingga ke manca negara.
Orok Karna dalam kendaga ditemukan Adirata bersama Nadha ketika menjalani laku prihatin di pinggir Gangga. Sebelumnya suami-istri itu memohon kepada dewa agar dianugerahi anak setelah sekian lama berumah tangga belum memiliki keturunan.
Adirata berprofesi sebagai pemelihara kuda milik Kerajaan Astina sekaligus kusir kereta Drestarastra, putra sulung mantan Raja Astina Prabu Kresnadwipayana. Ia tinggal di wilayah Kadipaten Petapralaya, pinggiran negara Astina.
Seperti pada umumnya orang tua, Adirata ingin anak (angkat) tunggalnya sebagai penerus pekerjaannya. Namun, Karna menolak mentah-mentah. Menurutnya, sais itu tidak terhormat. Bujukan ibunya agar patuh kepada bapaknya, diabaikan.
Karna menandaskan dirinya bisa menjadi bangsawan, bukan mewarisi derajat sebagai rakyat jelata. Ketegangan dengan orang tuanya akhirnya berujung Karna meninggalkan rumah. Ia berkelana hingga berguru kepada Resi Ramaparasu di Pertapaan Dewasana.
Karna memang anak berbakat. Dia cepat menyerap ilmu dan ajaran yang diberikan Ramaparasu. Terutama dalam memanah, kemahirannya tiada tanding. Bahkan ia lebih unggul daripada Arjuna, pangeran Astina, yang dilatih Resi Durna.
Kebetulan Karna menggenggam panah amat ampuh Kuntawijayadanu. Sebenarnya senjata itu milik Arjuna, tetapi Bathara Narada yang diutus Bathara Guru, keliru memberikannya. Pusaka kahyangan itu menjadi agul-agul (andalan) Karna dalam setiap derap langkahnya.
Senapati Kurawa
Garis tangannya mengantarkan Karna berhasil mewujudkan impiannya menjadi orang terhormat di Astina. Ia menjadi senapati rezim Kurawa yang dipimpin sulungnya, Duryudana. Kurawa menguasai takhta, milik Pandawa, secara inskonstitusional.
Latar belakang Duryudana mengangkatnya sebagai panglima perang semata karena kemahirannya menjemparing. Apalagi menggendong Kuntawijayadanu sehingga dapat diandalkan untuk menyirnakan Pandawa, yang dianggap penghalang nafsunya menguasai Astina turun-temurun.
Sebagai nayaka praja, Karna diberi tempat tinggal sekaligus kekuasaan Kadipaten Awangga. Dengan demikian, anak kusir itu bukan hanya sebagai pejabat teras andalan negara, tetapi juga sebagai adipati.
Karena kebaikan Duryudana itu, Karna bersumpah hidup matinya dipersembahkan demi kelanggengan kekuasaan Kurawa. Siapa pun, sekalipun sanak kadang atau saudaranya sendiri, jika mengusik kedudukan Duryudana menjadi musuhnya.
Semula, Duryudana sanksi terhadap komitmen Karna tersebut. Kenapa demikian, karena Pandawa, yakni Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, itu saudara kandung Karna lain ayah. Tapi, kekhawatirannya hilang setelah berulang kali diyakinkan.
Karna berulang kali menyatakan jika Duryudana memerintahkan segera membunuh Pandawa, tanpa harus menunggu perang Bharatayuda, tidak sampai sehari dirinya mampu nyangking (membawa) kepala Puntadewa dan keempat adiknya. Baginya, Pandawa itu bayi wingi sore, anak ingusan.
Peristiwa yang menggambarkan puncak kekemlinthian Karna ketika berlangsung rapat rezim Kurawa membahas rencana pengembalian Astina kepada Pandawa. Prinsipnya semua pepunden dan paranpara setuju penyerahan kepada yang berhak sehingga tidak terjadi perang saudara.
Raja Negara Mandaraka Prabu Salya, mertua Duryudana, yang berkenan hadir dalam pertemuan itu juga menyarankan agar takhta Astina segera dikembalikan. Sebagai gantinya, dirinya akan lengser dan mempersilakan Duryudana menjadi raja Mandaraka.
Di tengah pembicaraan, Karna menyela dan menyatakan tidak setuju dengan saran para sesepuh. Menurutnya, sebagai kesatria, kekuasaan harus dipertahankan hingga tetes darah penghabisan. Ia menganggap mereka yang pro pengembalian golongan pengecut, para orang tua yang takut darah.
Sikap tidak baik
Dengan lantang Karna menegaskan bahwa dirinya bersumpah menjadi benteng Kurawa untuk mempertahankan kekuasaan Astina. Untuk apa dirinya dijadikan senapati tapi kalau pada akhirnya takhta diserahkan begitu saja kepada Pandawa.
Salya meradang mendengar ucapan Karna yang kementhus. Sarannya yang bertujuan baik tapi malah dituduh penakut. Ia lalu menantang menantunya itu berkelahi untuk membuktikan bahwa dirinya tidak takut darah. Karna tanpa pamit kabur meninggalkan pertemuan.
Demikian sekilas cerita Karna yang kemlinthi. Pada akhirnya ia mati di tangan Arjuna dalam perang Bharatayuda. Sepanjang kisahnya sama sekali tidak menggambarkan kehebatannya sebagai senapati. Kemlinthi ialah sikap yang tidak baik dalam kultur yang menjunjung etika dan moral. ***