Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
HARI pemilihan pemimpin negara Amarta semakin dekat. Jadwal kampanye pun segera berakhir. Semua kontestan berlomba mengefektifkan waktu tersisa untuk menjangkau masyarakat seluas-luasnya dengan berbagai cara, termasuk lewat dunia maya.
Panakawan, sebagai bagian dari masyarakat, aktif mengikuti segala perkembangan politik terkait dengan pemilihan tersebut. Seperti warga lainnya, di antara mereka juga terjadi perbedaan pendapat karena memiliki preferensi masing-masing.
Penganiayaan sejumlah relawan salah satu kontestan oleh beberapa oknum aparat pertahanan negara baru-baru ini juga menjadi perhatian mereka. Peristiwa itu memunculkan bermacam opini, antara lain aparat dituduh tidak netral atau mendukung calon tertentu.
“Apa pun alasannya, tindak kekerasan itu tidak bisa ditoleransi. Apalagi saat ini dalam suasana kampanye yang rawan terjadi instabilitas. Semua harus bisa menahan diri,” kata Petruk.
“Mereka memang harus ditertibkan kok Kang. Dari berita yang kita baca, yang menjadi korban itu karena ugal-ugalan mengendarai motor dengan knalpot brong yang membuat bising dan mengganggu masyarakat,” ujar Bagong.
“Setuju Gong. Tapi yang menertibkan bukan aparat pertahahan melainkan yang memang tugasnya di bidang itu. Lagi pula tidak perlu digebuki hingga babak belur begitu. Negara kita ini negara hukum,” tutur Petruk.
Gareng menimpali, “Seyogianya kita sebagai warga negara mengedepan sikap saling menghargai. Jaga kerukunan.”
“Maksudmu apa, Kang Gareng?” tanya Bagong.
Gareng menjelaskan jangan ada ucapan, tingkah laku atau apapun yang bersifat provokatif. Sudah tidak zamannya lagi berpolitik dengan cara-cara primitif, harus beradab. Kita semua bersaudara, satu bangsa. Beda aspirasi itu biasa.
“Wah…tumben Kang!” ujar Bagong sambil mengacungkan jempolnya.
“Cangkeme, asemik!” umpat Gareng.
Semar yang mendengar obrolan ketiga anaknya manggut-manggut dengan sesekali mengulas senyum. Malam itu mereka berkumpul bercengkerama di rumah Semar di Klampisireng. Hangatnya obrolan mengusir hawa dingin akibat hujan sejak siang.
Seperti halnya dusun lain, Klampisireng juga dihiasi banyak baliho dan spanduk para kontestan. Selain para kandidat pemimpin juga calon anggota legislatif. Hanya karena alat peraga kampanye tak beraturan, sudut-sudut dusun jadi terganggu keasriannya.
Tidak biasanya, malam itu Panakawan ibarat berpesta dengan menikmati durian bawor hasil kebun sendiri. Di belakang rumah Semar ada tiga pohon durian yang sedang berbuah. Setiap hari ada saja durian yang jatuh.
Seperti diketahui calon pemimpin Amarta ada tiga, yakni Abimanyu, Gatotkaca, dan Pancawala. Mereka semua putra Pandawa, secara berurutan anak Arjuna, Werkudara, dan Puntadewa. Ketiganya memiliki keunggulan sebagai pemimpin.
Abimanyu dikenal sebagai generasi muda yang cerdas dan pintar. Mirip ayahnya, ia suka lelana brata atau laku prihatin mencari anugerah. Bukan hanya di dalam negeri, putra Sembadra itu juga berburu ilmu hingga ke manca negara.
Bila dibandingkan dengan dua pesaingnya, Abimanyu paling banyak mengantongi ijazah (wahyu). Bahkan, ketika masih dalam rahim, laki-laki pemberani itu sudah mendapat Wahyu Hidayat atau wahyu ilmu pengetahuan. Itu pertanda sebagai kesatria kekasih dewa.
Sedangkan kontestan kedua Gatotkaca ialah panglima perang Amarta. Berdasarkan catatan, tidak sekali ia menjadi jagonya dewa mengenyahkan raksasa pengganggu ketenteraman kahyangan. Ketika masih balita, Tetuka, nama kecilnya, mendapat tugas menumpas dua buta, yaitu Kala Pracona dan Sakipu.
Putra Arimbi ini juga tidak kenal rasa takut dan sakti mandraguna. Satu watak yang dianggap sebagai kelemahan, yaitu kadang kurang berpikir panjang dan cenderung emosional. Misalnya, ia pernah menempelang pamannya sendiri, Kala Bendana, hingga mati seketika.
Sedangkan Pancawala, kontestan ketiga, ialah pribadi yang pendiam dan agak kurang percaya diri. Ia seperti mewarisi watak ayahnya yang suka mengalah. Dari sisi kualitas dan kapabilitasnya, putra Drupadi ini memang kurang seimbang bila dibandingkan dengan Abimanyu dan Gatotkaca.
Puntadewa sangat mengerti kelebihan dan kekurangan putranya tersebut. Oleh karena itu, meski dirinya sebagai penguasa namun tidak sertamerta mengangkat Pancawala sebagai putra mahkota. Ia yakin bahwa pemimpin akan datang sendiri sesuai dengan kebutuhan zamannya.
“Kamu pilih siapa, Kang Petruk?” tanya Bagong.
“Pilih yang terbaik,” jawabnya santai.
Bagong berusaha memastikan, “Yang jelas Kang. Maksudku, siapa namanya?”
“Rahasia!” tukas Petruk.
Gareng menyela, “Bagong! Kamu mendesak-desak orang lain. Coba, kalau pilihanmu siapa?”
Bagong tanpa tedheng aling-aling (terbuka) mengatakan bakal memilih Abimanyu. Alasannya, tahu luar dalamnya karena kerap mendampingi kesatria Plangkawati itu pergi mencari ilmu dan menggayuh wahyu. “Abimanyu terbaik dari yang baik.”
Panakawan menjadi saksi ketika Abimanyu mendapatkan Wahyu Cakraningrat di Hutan Ganggawarayang. Berdasarkan sabda dewa, titah yang menggengam anugerah tersebut bakal menjadi raja dan menurunkan raja-raja besar.
Semar yang sejak awal hanya mendengar obrolan anaknya lalu tertarik membuka mulut. “Hai anak-anakku, ndara (bendara) Abimanyu, ndara Gatotkaca, dan ndara Pancawala ialah para kesatria terdepan. Mereka ingin mengabdikan diri bagi bangsa dan negara”.
Petruk menyela bahwa persoalannya hanya satu yang harus menjadi pemimpin. “Pertanyaan Pak, bagaimana cara memilih pemimpin yang terbaik?”
Semar menyarankan untuk membaca dengan saksama keunggulan dan track-record (rekam jejak) semua kontestan. Selain itu, amati dan cermati betul ide dan gagasan mereka yang tergambar dalam visi dan misi serta program-programnya.
Menurut Semar, hanya itu cara terbaik memilih pemimpin karena benar-benar ada dasar pertimbangannya, bukan karena yang lain. “Ini untuk perubahan Amarta yang lebih baik thole (nak).” ***