Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
BARU-BARU ini viral kata-kata ‘ndhasmu etik’ (kepalamu etik). Itu ungkapan bahasa Jawa yang bernuansa umpatan kekesalan atau juga bisa candaan. Terlepas dari apapun tujuan dan maksudnya, kata-kata tersebut kasar alias tidak sopan.
Seperti diketahui kata-kata itu diucapkan oleh salah satu calon pemimpin negara. Pertanyaannya, perlukah sampai berkata demikian? Barangkali itu memang cermin kepribadiannya. Dengan begitu juga bisa saja dianggap menyepelekan etika.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etik artinya kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Sedangkan etika ialah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Sewenang-wenang
Dalam jagat wayang, contoh tokoh yang abai, dan bahkan menginjak-injak etik dan etika ialah Dasamuka alias Rahwana. Sosok yang tidak peduli tatanan. Ucapan dan perilakunya semau-maunya sendiri, emosional, dan gemar melakukan kekerasan verbal maupun nonverbal.
Dasamuka merupakan lambang keangkaramurkaan. Insan haus kekuasaan yang menggunakan segala cara. Siapa pun, termasuk ‘kulit dagingnya sendiri’ (saudara), bila menghalangi dan tidak sejalan dengan keinginannya menjadi musuh.
Dari garis keturunan, Dasamuka bukan trah sembarangan. Ayahnya, Wisrawa, begawan kondang yang menguasai ilmu kadewatan sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. Ibunya, Sukesi, putri raja Alengka Prabu Sumali dengan Danuwati.
Karakter Dasamuka yang demikian itu berbeda dengan tiga adiknya. Kumbakarna, meski wujudnya raksasa tapi berwatak kesatria. Begitu pula si bungsu Gunawan Wibisana yang berwajah tampan. Sedangkan Sarpakenaka, wanita genit, ekspresif, dan agresif.
Saat muda, Dasamuka bersama adik-adiknya gentur bertapa di Gunung Gohkarna. Ia memohon bisa hidup selamanya. Keinginannya ditolak dewa karena berlawanan dengan kodrat. Sebagai gantinya, dianugerahi kesaktian yang tiada banding.
Dasamuka tergerak hatinya menjajal keampuhan dengan menyerang kahyangan. Tidak ada satu pun dewa yang mampu menandingi. Bathara Narada menghampiri dan menasihati bahwa perilakunya tidak elok dan diminta segera turun ke marcapada.
Sekembalinya dari kahyangan, Dasamuka mendapat warisan takhta Alengka dari kakeknya yang lengser karena lanjut usia. Ia kemudian menjelma menjadi raja otoriter dan sewenang-wenang. Siapa saja yang tidak taat kepadanya dienyahkan.
Tidak puas dengan kesaktian yang dimiliki, Dasamuka berburu aji rawarontek dari saudara kandung lain ibu, Raja Lokapala Prabu Danaraja. Selain itu, mendapat aji pancasona dari Resi Subali. Ajian itu menjadikan Dasamuka tidak bisa mati bila wadagnya masih menyentuh bumi.
Dengan kesaktiannya yang menggiriskan itu, muncul ambisi menggenggam dunia dan menjadi rajanya para raja se-jagat. Mengukuhkan Alengka sebagai negara adi daya sekaligus pusat pemerintahan bangsa seluruh penjuru marcapada.
Gagal empat kali
Dasamuka sangat gigih mencapai keinginan. Tidak pernah menyerah, termasuk dalam urusan cinta. Setidaknya empat kali gagal mendapatkan wanita impian. Tragisnya, akibat petualangan asmaranya itulah riwayatnya tamat.
Pada suatu ketika Dasamuka bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Widawati, putri Begawan Wersapati yang diyakini titisan Dewi Sri. Menurut wangsit yang didapat, Alengka bakal menjadi negara seperti yang diharapkan apabila memiliki Dewi Sri.
Tapi, Widawati menolak dipinang dan memilih mati. Betapa galaunya Dasamuka. Harapannya muncul lagi setelah mendapat pencerahan dari koleganya, Begawan Maryuta, yang mengungkapkan rahasia jagat bahwa Dewi Sri masih akan menitis tiga kali.
Setelah Widawati, Dewi Sri menitis dalam diri Dewi Citrawati, istri Raja Maespati Prabu Arjunasasrabahu. Dasamuka tidak peduli dengan status wanita yang menjadi rumah ‘roh’ pujaannya itu. Direbutlah perempuan itu dengan kekerasan.
Usahanya gagal meski telah mengerahkan segala kesaktiannya. Dasamuka tidak mampu mengimbangi kedigdayaan Arjunasasrabahu. Bahkan, satu tangannya cacat seumur hidup akibat diseret oleh raja titisan Bathara Wisnu itu dengan keretanya.
Dasamuka tidak kapok karenanya. Ketika tahu Dewi Sri berganti menitis pada diri Dewi Kausalya, maka dikejarlah putri Raja Ayodya Prabu Banaputra itu. Upayanya kembali gagal. Kausalya jatuh dalam pelukan Dasarata yang menggantikan mertuanya memerintah Ayodya.
Waktu terus berlalu, tapi impian Dasamuka memiliki wanita titisan Dewi Sri tidak pernah layu. Pada suatu ketika matanya terbelalak dan hatinya berdebar-debar saat melihat perempuan jelita di tengah Hutan Dandaka bersama dua kesatria tampan.
Dasamuka yakin wanita itu titisan Dewi Sri. Pada saat itu sebenarnya ia sedang mencari kesatria yang baru saja mencederai Sarpakenaka. Tapi, rencana awal itu dilukapan setelah mengamati wanita yang kemudian diketahui bernama Sinta.
Lagi-lagi, wanita yang dikejar itu juga sudah menjadi milik orang lain. Sinta berstatus sebagai istri Rama, putra mahkota Ayodya, yang pada saat itu sedang menjalani laku prihatin di belantara. Ikut menyertai Leksmana Widagda, adiknya.
Contoh buruk
Dengan upaya penyamaran, Dasamuka berhasil menculik Sinta yang kemudian disembunyikan di Taman Argasoka, Alengka. Ini menjadi awal drama perjuangan panjang Rama merebut kembali istrinya yang memakan banyak korban.
Singkat cerita, Rama dan Leksmana dibantu para senapati dan prajurit wanara Goa Kiskenda, balanya Narpati Sugriwa, berhasil menjemput Sinta yang disekap selama lebih dari 12 tahun. Dasamuka lenyap dan Alengka pun hancur.
Dari cerita singkat ini dapat digarisbawahi bahwa Dasamuka ialah insan ambisius. Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan dengan mengagung-agungkan kesaktiannya. Ia contoh buruk terkait dengan etik dan etika. ***