Ono Sarwono (Sekretaris Dewan Pertimbangan DPW NasDem Jawa Tengah)
BARU saja umat muslim di seluruh dunia merayakan Idul Adha. Dari dimensi sosial dan spriritual, ajaran yang bisa dipetik dari Hari Raya Kurban ialah ikhlas berkorban demi indahnya kemuliaan serta suburnya nilai-nilai kemanusiaan.
Spirit itulah yang menginspirasi Pandawa dan putra-putranya ketika harus melakoni Bharatayuda melawan Kurawa dalam cerita wayang. Mereka dengan tulus hati mengorbankan jiwa raga demi tegaknya keadilan dan kenteraman jagat.
Pandawa merelakan anak-anaknya mendahului selama-lamanya. Adapun, para putra Pandawa dengan senang hati mempersembahkan nyawa demi perjuangan memayu-hayuning bawana, terjaganya harmonisasi kehidupan dunia.
Bebal dan pembenci
Alkisah, para pinisepuh Astina sudah melakukan berbagai upaya agar Pandawa dan Kurawa rukun selamanya. Wangsit yang menjadi rahasia umum bahwa Pandawa-Kurawa bakal baku-bunuh di Kususerta terus diikhtiarkan tidak terjadi.
Resi Bhisma, salah satu pinisepuh Astina, menggagas perguruan Sokalima untuk Pandawa dan Kurawa agar menjadi generasi penerus yang pintar dan tangguh. Ia pula yang merekomendasi Bambang Kumbayana (Durna), sebagai guru utama.
Pandawa dan Kurawa memiliki hak sederajat karena sama-sama cucu Abiyasa alias Kresnadwipayana, mantan Raja Astina. Pandawa ialah lima orang laki-laki putra Raja Astina Pandu Dewanata. Kurawa, yang berjumlah seratus, anak Drestarastra, kakak Pandu.
Kenapa Bhisma amat peduli terhadap kualitas generasi muda? Ia, sebagai ahli waris sejati takhta Astina, merasa bertanggung jawab terjaganya keberlangsungan dan kejayaan negara yang didirikan dengan jerih payah para leluhurnya.
Dewabrata, nama kecil Bhisma, ialah putra tunggal Prabu Sentanu yang bertakhta sebelum Kresna Dwipayana. Ibunya, Dewi Gangga, mudik ke Kahyangan sejak ia lahir. Jadi, Dewabrata merupakan satu-satunya pewaris kekuasaan Astina.
Akan tetapi, ketika muda Dewabrata bersumpah wadat dan tidak ingin menjadi raja demi kebahagiaan bapaknya. Tepatnya ketika Sentanu meminang Durgandini. Putri Wiratha itu bersedia dipersunting dengan syarat bila anaknya yang menjadi raja.
Oleh karena itu selamanya Bhisma merasa memiliki Astina. Ia tidak ingin melihat negaranya rusak, apalagi hancur. Salah satunya, bangsa Astina harus bersatu. Pun para calon pemimpinnya mesti pintar dan satu visi, bersinergi membangun negara.
Upaya mulia Bhisma memang tak berjalan mulus. Pandawa dan Kurawa yang digadang-gadang menjadi generasi unggul dan rukun tidak berhasil. Kurawa bukan hanya bebal tetapi malah tumbuh rasa benci dan permusuhan kepada Pandawa.
Di balik rusaknya pribadi Kurawa ternyata karena hasutan Suman yang kondang bernama Sengkuni. Paman Kurawa dari garis ibu itu meracuni pikiran dan hati keponakannya bahwa hidupnya bakal kesrakat (sengsara) jika tidak berkuasa.
Menurut Sengkuni, satu-satunya cara menguasai Astina harus membinasakan Pandawa. Karena Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa ialah ahli waris Astina. Mereka putra Pandu dengan permaisuri Kunti dan Madrim.
Perang Bharatayuda
Tak terbilang Bhisma menasihati Kurawa agar tidak jahat kepada Pandawa, adik sepupunya sendiri. Tapi, sabdatamanya tidak pernah digubris hingga akhirnya pascawafatnya Pandu, Kurawa yang dimentori Sengkuni merebut takhta Astina.
Tidak sampai di situ, untuk menjaga kekuasaannya, Kurawa melakukan berbagai cara membinasakan Pandawa meski selalu gagal. Peristiwa paling menggiriskan ketika Puntadewa dan adik-adiknya menginap di Bale Sigala-gala dibakar di pagi dini hari.
Mengetahui Kurawa tidak bisa rukun dengan Pandawa, Bhisma berupaya paling tidak kedua keluarga itu tidak berseteru memperebutkan Astina. Maka, ia usulkan memberi sebagian wilayah Astina kepada Pandawa untuk tempat tinggal.
Dengan berswasembada, Pandawa membangun rumah di hutan Wanamarta. Di situlah kemudian berkembang menjadi sebuah negara yang bernama Indraprastha atau Amarta. Berakhirkah kebencian Kurawa terhadap Pandawa?
Kodrat menggariskan Kurawa berperang dengan Pandawa di Kurusetra. Namun, sesungguhnya ini bukan pertempuran memperebutkan kekuasaan (duniawi) tetapi peperangan antara nafsu angkara murka dan nafsu mutmainah (karimah).
Pandawa, yang tidak ingin berebut takhta Astina karena sudah memiliki istana dan negara tersendiri, akhirnya mau tidak mau harus berperang melawan Kurawa. Kresna, kakak sepupu, yang mencerahkannya bahwa Bharatayuda itu perang suci.
Oleh karena itu, dengan segenap kemampuannya Pandawa yang hanya berjumlah lima orang menghadapi Kurawa yang beranggotakan seratus orang. Bukan itu saja, Kurawa juga berkoalisi dengan sejumlah negara dengan ribuan bala prajurit.
Dalam perang yang berlangsung 18 hari itu, para putra Pandawa menjadi korban. Tidak ada satu pun tersisa. Semua gugur sebagai kusuma bangsa. Bahkan, Antareja (putra sulung Werkudara), diracut (dikorbankan) sebelum Bharatayuda pecah.
Bhisma yang begitu gigih membangun kerukunan Kurawa-Pandawa akhirnya juga menjadi korban dalam perang ini. Sumbangsih yang tidak ternilai yang diniatkan untuk menjaga persatuan bangsa Astina yang sangat dicintai.
Selain Bhisma, Durna yang ikut berjuang merukunkan trah (keturunan) Abiyasa, juga menjadi tumbal. Sang dwija (guru) ini memang berada di kubu Kurawa, tapi dalam sanubarinya berpihak kepada Pandawa, murid-murid yang disayangi.
Tidak mudah
Pungkasannya, Pandawa memenangi perang dengan pengorbanan yang tiada tara. Mereka merelakan anak-anaknya pergi selama-lamanya. Para kesatria sejati yang dengan suka cita berkorban demi menegakkan keadilan.
Pandawa kehilangan satu generasi. Para cucu-cucunya yang kemudian meneruskan perjuangan kakeknya. Mereka bersatu membangun kembali kejayaan Astina yang kemudian berganti nama Yawastina (gabungan Astina-Amarta).
Poin dari kisah ini ialah untuk menggapai kemuliaan itu mesti lewat pengorbanan. Tentu itu tidak mudah karena pengorbanan identik rela kehilangan dari sesuatu yang dimiliki, bahkan yang sangat diaji-aji atau paling berharga. ***