Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
MENKO bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, meminta presiden terpilih Prabowo Subianto tidak memasukkan orang ‘toxic’ ke kabinetnya. Hal itu agar semua program untuk kepentingan nasional bisa berjalan dengan baik.
Sebuah saran positif. Pertanyaannya, siapa saja yang tergolong ‘toxic’, yang secara harfiah artinya beracun. Barangkali yang dimaksud ialah orang-orang yang akan memberikan dampak negatif. Mereka yang berpotensi mengganggu atau merusak.
Dalam cerita wayang, ada pengalaman amat pahit yang dilakoni Raja Wiratha Prabu Matswapati akibat menggandeng orang ‘toxic’ dalam kabinetnya. Padahal mereka itu orang dalam, malah keluarga sendiri, tetapi nyatanya mendurhaka.
Anak angkat
Matswapati naik takhta menggantikan ayahnya, Prabu Basuketi, yang lengser dari singgasana raja karena lanjut usia. Ketika menyusun anggota kabinet, orang-orang yang dipilih menjadi pembantunya, selain profesional juga benar-benar tepercaya.
Wiratha adalah negara yang sudah berusia panjang. Eksistensinya diakui bangsa-bangsa lain di seluruh penjuru marcapada karena pertahanannya yang sangat kuat serta rakyat hidup makmur dan sejahtera.
Di bidang pertahanan negara, Matswapati mengangkat orang-orang kepercayaan yang sudah menjadi saudara sendiri sebagai panglima perang. Tidak satu, tapi tiga sekaligus, yakni Rupakenca, Kencakarupa, dan Rajamala yang dikenal sakti-sakti.
Rupakenca dan Kencakarupa merupakan jelmaan perahu milik Durgandini, adik Durgandana (nama kecil Matswapati). Adapun Rajamala alih rupa penyakit Durgandini.
Ketika remaja, Durgandini mulai menderita penyakit aneh yang mengakibatkan mengeluarkan bau anyir sehingga dijuluki ‘Lara Amis’. Tidak ada tabib dan brahmana yang bisa menyembuhkan sehingga seluruh keluarga sedih dan malu.
Basuketi lalu melakukan pujabrata (semedi) meminta pertolongan dewa. Bathara Narada mengejawantah dan menyarankan agar Durgandini ikut Dasabala, nelayan di Sungai Yamuna. Itu laku prihatin sebagai upaya putrinya sembuh dari cobaan.
Sejak saat itu, Durgandini dalam asuhan Dasabala. Kesibukannya sehari-hari menyeberangkan orang dengan perahu di Yamuna. Pada suatu hari, datang seorang lelaki bernama Palasara dari Pertapaan Ratawu, minta diantarkan ke seberang.
Ketika mengetahui Durgandini berbau amis, Palasara yang ‘berprofesi’ sebagai resi menawarkan diri mengobati. Tidak disangka, penyakit Durgandini melawan tapi bisa dikalahkan dan menjelma orang berwajah raksasa diberi nama Rajamala.
Saat terjadi perkelahian, perahu hanyut tanpa kendali dan menabrak batu besar sehingga pecah menjadi dua. Anehnya, pecahan perahu itu berubah wujud orang dan diberi nama Rupakenca dan Kencakarupa. Bukan itu saja, kayu dayung menjelma wanita bernama Rekatawati.
Keempatnya menjadi anak angkat Palarasa dan Durgandini. Atas saran keduanya, manusia-manusia ajaib itu pergi ke Wiratha dan mengabdi kepada Matswapati.
Panglima perang
Singkat cerita keempatnya diterima Matswapati. Rupakenca, Kencakarupa, dan Rajamala diberi jabatan tinggi sebagai trio senapati. Adapun Rekatawati dipinang dan melahirkan Seta, Utara, Wratsangka, dan Utari.
Dengan digawangi tiga senapati yang ampuh-ampuh, Wiratha semakin ditakuti negara-negara lain. Tidak ada satu pun pihak yang berani mengusik kedaulatan negara. Malah banyak bangsa-bangsa lain yang rela menjadi bawahan.
Seiring berjalannya waktu, Rupakenca tergoda menjadi penguasa Wiratha. Idenya didukung Kencakarupa. Rajamala pun siap membantu. Ketiganya amat yakin takhta dapat digenggam karena tidak ada yang berani menandingi.
Secara diam-diam orang-orang yang sealiran direkrut dan diimingi janji-janji menggiurkan setelah gerakannya berhasil. Mereka menjadi kaki tangan membakar rakyat akar rumput untuk membangkang terhadap Matswapati.
Dalam waktu singkat stabilitas nasional terganggu. Matswapati menggelar rapat dengan memanggil Rupakenca dan Kencakarupa untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi sekaligus mencari solusi.
Menurut Rupakenca, instabilitas karena ada dua kelompok masyarakat yang berseberangan. Satu pihak menginginkan pergantian raja, pihak lainnya menolak perubahan. Solusinya diadakan adu jago yang mewakili mereka.
Kelompok anti perubahan (status quo) dipersilakan mencari jago. Adapun dari pihak yang pro pergantian kepemimpinan menjagokan Rajamala, yang terang-terangan telah memproklamirkan diri memihak para pembangkang.
Sebenarnya Matswapati sudah paham di balik gara-gara yang melanda Wiratha, tapi ia tidak bisa menolak kehendak Rupakenca karena kesaktiannya. Diutuslah Seta mencari jago dan terrpilihlah Abilawa, tukang jagal di Dusun Welakas.
Pada waktu yang telah ditentukan, adu jago digelar di alun-alun. Duel Abilawa melawan Rajamala berlangsung sengit. Keduanya saling menjatuhkan. Tiba-tiba Rajamala menggelapar karena dadanya terhujam kuku pancanaka lawan.
Rupakenca dan Kencakarupa dibantu balanya bergegas menggotong Rajamala dan memasukkan ke Sendang Watari. Keanehan terjadi, Rajamala hidup kembali dan segera bangkit menyerang Abilawa. Pertarungan keras kembali terjadi.
Lagi-lagi kuku pancanaka merobek perut Rajamala sehingga mati. Tapi ia hidup kembali setelah dicemplungkan ke sendang. Peristiwa seperti itu terus berulang sehingga Abilawa kehilangan akal dan kelelahan.
Melihat peristiwa itu, Wrahanala (Arjuna), yang bersama empat saudara (Pandawa) sedang menyamar di Wiratha, melepaskan panah Bramasta ke sendang. Maka, saat jasad Rajamala dimasukan, langsung lebur menjadi abu.
Sejarah kelam
Rupakenca dan Kencakarupa terbelalak melihat jagonya musnah. Dengan amarah yang meluap-luap keduanya bermaksud memburu Matswapati dan membunuhnya. Tapi langkahnya dihadang Abilawa dan keduanya mati mengenaskan.
Mastwapati sangat berterima kasih kepada lima orang penyamar yang kemudian terungkap jati dirinya (Pandawa), yang tidak lain sucu-cunya sendiri. Sang raja pun bersumpah akan membantu Pandawa dalam Bharatayuda.
Pemberontakan Rupakenca, Kencakarupa, dan Rajamala menjadi sejarah kelam Wiratha. Orang-orang yang dipercaya menjadi pilar-pilar negara tetapi justru mengobrak-abrik tatatan. Ketiganya itu orang-orang ‘toxic’. ***