Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
ADAT dalam rangkaian perayaan Lebaran yang begitu kuat dalam masyarakat kita ialah bersilaturahim dengan saudara, kerabat, dan lainnya. Tradisi adiluhung yang biasanya saling kunjung ini untuk mempererat tali persaudaraan dan persahabatan.
Bersilaturahim itu tiada sekat, semua lebur dalam keakraban. Inilah sesungguhnya manifestasi dari watak kita yang suka guyub-rukun dalam kondisi apapun. Mangan ora mangan ngumpul (makan tidak makan berkumpul). Maknanya, persaudaraan yang terpenting.
Dalam dunia wayang, tokoh yang berjiwa silaturahim ialah Raja Mandura Prabu Baladewa alias Balarama. Usianya lebih tua dan dituakan oleh para saudaranya, tapi ia memilih meringankan kaki mengunjungi dulur-dulurnya daripada disowani.
Dusun Widarakandang
Baladewa, nama kecilnya Kakrasana, putra mendiang penguasa Mandura Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Ia lahir kembar gondhang kasih bersama Narayana. Kakrasana berkulit putih (albino), Narayana hitam cemani.
Dengan berbagai pertimbangan, sejak kecil Kakrasana dititipkan kepada Demang Antagopa di Dusun Widarakandang. Ia tidak sendirian, bersama dengan Narayana dan adik lain ibu, Lara Ireng. Kakrasana masih punya saudara bernama Udawa.
Sudah menjadi rahasia umum, Udawa lahir dari perselingkuhan Basudewa dengan dayang istana Ken Sagopi. Untuk melamurkan aib itu, Udawa juga disembunyikan ke Widarakandang, sedangkan Sagopi direkayasa sebagai istri Antagopa.
Kakrasana dan saudaranya tumbuh dalam asuhan Antagopa-Sagopi yang penuh kasih sayang. Tentu saja mereka hidup sederhana seperti warga dusun lain. Namun, Antagopa istikamah menggulawentah ‘anak-anaknya’ menjadi para kesatria utama.
Hingga dewasa, Kakrasana tidak tahu jika dirinya putra Basudewa yang digadang-gadang menjadi raja berikutnya. Seperti pemuda dusun pada umumnya, setiap hari kesibukannya membantu ayahnya bercocok tanam di sawah dan ladang.
Di samping ketekunannya bertani, Kakrasana memiliki hobi memelihara sejumlah gajah. Rumahnya yang berhalaman luas dipagari dengan batu dan bata setinggi beberapa meter bak benteng. Pintu masuk dan keluar dibangun layaknya gapura.
Kreativitasnya itu membuat Antagopa geleng-geleng kepala sekaligus khawatir ada persepsi keliru dari sebagian warga. Karena bangunan seperti itu bisa dianggap menandingi atau sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa Mandura.
Berulang kali Antagopa menasihati agar tidak berbuat yang terkesan membangun istana. Tapi Kakrasana memohon ayahnya tidak perlu waswas. Dirinya siap lahir batin menghadapi apapun risikonya dan yang datang dari manapun.
Antagopa menyadarkan bahwa sikap keras kepalanya itu hanyalah buih dan tiada artinya bila tidak berbekal ilmu dan kesaktian. Kakrasana dinasihati agar membekali diri dengan menjalani laku prihatin untuk menggayuh anugerah dewa.
Singkat cerita, berkah dari kegenturannya bertapa, Kakrasana mendapat pusaka dari Bathara Brama, yaitu nenggala dan alugara. Dengan senjata itu, ia bersama Narayana, menyelamatkan takhta Basudewa dari kudeta Kangsa.
Jadi Raja Mandura
Peristiwa itu menjadi momen kembalinya Kakrasana dan adik-adiknya ke istana. Basudewa begitu bangga mendapati anak-anaknya tumbuh dewasa dan menjadi kesatria tangguh. Dengan demikian tiada keraguan akan masa depan Mandura.
Seiring berjalannya waktu, karena faktor sepuh (berusia tua) Basudewa lengser keprabon (turun takhta). Kakrasana menggantikan sebagai raja bergelar Prabu Baladewa. Nama ini diambil karena Kakrasana pernah menjadi jagonya dewa memulihkan ketenteraman kahyangan.
Sementara itu, Narayana juga menjadi raja di Negara Dwarawati dengan gelar Prabu Sri Bathara Kresna. Udawa diangkat sebagai patih. Sedangkan Lara Ireng diperistri Arjuna, adik sepupunya sendiri, putra ketiga bibinya, Kunti.
Sebagai raja, Baladewa hanya memiliki satu istri sekaligus menjadi permaisuri bernama Erawati, putri pertama Raja Mandaraka Prabu Salya dengan Setyawati. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniani dua anak, Wisata dan Wimuka.
Di bawah kepemimpinannya, Mandura kian berkembang dan maju. Negara aman dan adil makmur, rakyat hidup sejahtera dan ayem tenteram.
Di tengah kesibukannya di Mandura, Baladewa kerap bersilaturahim ke Dwarawati menemui adiknya. Tidak seperti para raja yang biasa berpergian dengan naik kereta yang ditarik delapan kuda, Baladewa lebih suka menunggang gajah Puspadenta.
Tidak mesti urusan kenegaraan, Baladewa ke Dwarawati ingin bercengkerama atau mengobrol dengan Kresna dan Udawa. Kadang, mereka hanya bicara hal-hal yang ringan dan sepele, misalnya tentang tafsir mimpi, masalah pertanian, dan lainnya.
Selain ke Dwarawati, Baladewa juga kerap tilik (mengunjungi) Amarta bertemu dengan lima putra buliknya, Kunti, yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Lima lelaki itu dikenal dengan nama Pandawa.
Uniknya, walaupun berwatak temperamental, Baladewa sangat sabar di lingkungan keluarga dan saudara. Malah suka mengalah dan bersikap ngemong (mengasuh). Oleh karena itu, tidak aneh bila ia mudah meminta maaf meski tidak salah.
Baladewa juga tidak berat langkah ketika diundang datang ke istana Astina oleh Duryudana meski hanya lewat surat. Padahal, ia tahu sulung Kurawa itu brengsek karena merampas takhta milik Pandawa. Ia hanya ingin persaudaraan tetap terjaga.
Lebih berharga
Bahkan, Baladewa tidak pernah menolak ketika dimintai tolong Duryudana, baik urusan tata negara atau keluarga. Misalnya, melamarkan putri untuk putra mahkota Lesmana Mandrakumara. Apakah upayanya berhasil atau tidak, itu urusan lain.
Persaudaraan Baladewa dengan Duryudana terjalin karena istri mereka sekandung. Erawati ialah kakak Banowati, satu-satunya istri Duryudana. Erawati masih punya adik perempuan bernama Surtikanti yang dinikahi Karna, Adipati Awangga.
Menjaga silaturahim itu merupakan implementasi kerendahan hati Baladewa serta kesadarannya yang mendalam akan pentingnya persaudaraan. Baginya, itu jauh lebih berharga daripada lainnya. ***