Ono Sarwono (Kader NasDem)
DI negeri ini ada partai politik yang dicap sombong. Entah bagaimana awalnya, tetapi mungkin predikat itu disematkan karena sepak terjang atau lagak (para elite dan kader) partainya sapa sira sapa ingsun (sombong).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sombong itu artinya menghargai diri secara berlebihan; congkak; pongah. Jadi, kalau ada partai disebut demikian barangkali karena begitulah polahnya, pun cara mereka memandang partai lain.
Pada tatanan sosial, sombong itu dianggap tidak baik. Namun, sikap itu pilihan sehingga siapa pun, termasuk partai politik, boleh-boleh saja congkak atau pongah. Itu ‘hanya’ wilayah etika, tidak melanggar hukum, baik perdata maupun pidana.
Merasa paling berhak
Dalam terminologi dunia pakeliran, partai yang lekat dengan predikat sombong ialah Kurawa. Partai yang digawangi seratus orang ini bukan saja memandang diri sebagai kelompok terbesar tapi juga merasa yang paling bisa memimpin negara.
Tingkah laku dan tutur kata mayoritas anggotanya gembelengan (pongah). Merasa Astina sebagai miliknya sendiri sehingga bebas atau sesuka hati berbuat apa saja. Kelompok lain dianggap membahayakan sehingga harus disingkirkan atau dimatikan.
Menurut garis keturunan, Kurawa bukan trah wong sembarangan. Sama dengan Pandawa, mereka cucu Begawan Abiyasa yang juga mantan raja Astina bergelar Prabu Kresnadwipayana. Resi linuwih (hebat) yang dikagumi penduduk bumi.
Nama besar Abiyasa itu yang selalu dimanipulasi sebagai alat propaganda Kurawa. Di setiap kesempatan dan tempat, mereka bergembar-gembor mengaku misinya melanjutkan perjuangan kakeknya. Itu sekadar strategi untuk mendapatkan suara rakyat sehingga kekuasaan aman.
Sebagian besar rakyat memang terbius tipu daya Kurawa. Terutama, warga usia lebih dari setengah abad. Mereka para pendukung Abiyasa ketika menjadi raja. Namun, rakyat golongan muda pada dasarnya kritis sehingga tak mudah hanyut.
Kenyataannya, politik Kurawa membelakangi kakeknya, malah berseberangan. Mereka haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara untuk merengkuhnya. Tidak sampai di situ, juga membenarkan semua langkah demi mempertahankannya.
Bila menilik jejak sang kakek, Abiyasa tidak memiliki nafsu seperti itu. Bermimpi berkuasa pun tidak. Takhta yang diduduki bukan kehendaknya melainkan mengalir begitu saja. Garis tangan yang mengantarkan jalan hidupnya menjadi raja.
Abiyasa hanya bercita-cita ingin menjadi manusia berguna. Jalan yang ditempuh mengikuti jejak bapaknya, Palasara, sebagai resi di Pertapaan Ratawu di lereng Gunung Sapta Arga. Titah ahli ibadah yang senantiasa mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta.
Kasalehannya itu membuat Kresnadwipayana berpandangan bahwa kekuasaan itu amanah, bukan sesuatu yang harus dipertahankan selamanya. Maka, ketika waktunya tiba, ia lengser keprabon madeg pandhita, turun takhta dan menjadi resi. Legacy (warisan) kepemimpinan yang dikagumi dunia.
Keberhasilan Kresnadwipayana memimpin Astina karena bersajadahkan resi. Watak ‘suci’ menjadi ‘roh’ membangun bangsa dan negara. Kejujuran, keterbukaan, dan welas asih kepada rakyat dan siapa pun makhluk marcapada menjadi lakunya.
Hancurkan saudara
Di Astina, selain Kurawa masih ada dua partai lain, yaitu Pandawa yang dipimpin Puntadewa, serta Panggombakan yang diketuai Yama Widura. Konstitusi menjamin hak hidup mereka dan memiliki tanggung jawab yang sama mengelola negara.
Namun, karena rakus, pemimpin Kurawa berkehendak menghancurkan dua partai tersebut. Pandawa menjadi sasaran utama karena, meski hanya terdiri dari lima orang, berpotensi mengalahkannya. Sementara itu, Panggombakan diabaikan karena kekuatannya kecil.
Sejak dini, Kurawa sudah menjegal Pandawa. Tujuannya bukan saja menghalangi dan mencegah sesama anak bangsa itu berkuasa tapi target besarnya melenyapkan keturunan Pandu Dewanata-Kunti/Madrim tersebut.
Penjegalan awal ketika mengikuti pendidikan di Padepokan Sokalima. Di panti sekolah itu Kurawa sudah berusaha menghabisi Pandawa tapi gagal. Mereka harus mengakui kekuatan Pandawa yang tidak dikalkulasi dengan cermat.
Kemudian yang paling dramatis menjelang Pandawa dilantik menjadi penguasa dengan dukungan mayoritas rakyat. Kurawa membakar penginapan mereka, Bale-Sigalagala, hingga menjadi abu. Tetapi Pandawa bersama ibunda, Kunti, selamat.
Pandawa masih terus dihalangi. Mereka diakali sehingga kalah dalam kompetisi yang pada akhirnya hidup di hutan dua belas tahun lamanya. Bila selamat, masih harus menyamar satu tahun dan jikalau ketahuan mengulangi dari awal.
Demikian itu yang dilakukan Kurawa. Mereka tidak pandang bulu bahwa Pandawa itu sesama anak bangsa, bahkan sedarah. Kekejamannya dilatarbelakangi oleh candu kekuasaan sehingga tega dan berani melakukan apa saja terhadap saudara.
Kodratnya, tatanan dunia pasti, bahwa keburukan mesti kalah dengan kebaikan. Ibarat pepatah ‘Sapa sing mbibiti ala, wahyuning bakal sirna’, siapa yang mengawali dengan keburukan (kejahatan) pada akhirnya akan hancur. Kurawa menanggung karma.
Putra Drestarastra-Gendari itu bukan hanya kalah di medan Kurusetra tetapi mereka sirna bak ditelan bumi. Bharatayuda menjadi palagan pengadilan. Pandawa yang senantiasa bertindak utama memetik buahnya.
Akhirnya mengubur
Itulah kisah kejemawaan Kurawa. Kelompok yang diketuai Duryudana dengan sekjennya, Sengkuni, itu mengeklaim penerus kepemimpinan Kresnadwipayana tetapi praktiknya bertolak belakang. Mencitrakan diri sebagai partai rakyat tetapi mementingkan diri sendiri.
Kurawa zalim terhadap sesama anak bangsa. Mereka mengangkangi jati diri bangsa yang bermahzab gotong royong. Ketamakannya-lah yang melandasi mereka bernafsu mematikan yang lain. Sebuah cerita tentang egoisme kekuasaan yang pada akhirnya menguburnya. ***