Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
“BUSET dah!” umpat Gareng dengan nada tinggi.
“Waduh! Ada apa Kang Gareng?” Petruk terperanjat.
Bagong pun tak kalah terkejutnya, “Bikin kaget saja! Ada apa Kang?”
Petruk dan Bagong lalu sama-sama memandangi Gareng yang serius memelototi layar ponselnya. Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya gusar sehingga sampai keluar kata bernada berang. Reaksi yang amat jarang pada diri Gareng meskipun wataknya keras hati.
Gareng mengaku tidak bisa mengendalikan emosi setelah melihat video seseorang, teman-temannya melabeli intelektual, mengatai Prabu Puntadewa bajingan, tolol, pengecut. Apalagi makian itu disampaikan dengan mimik dan gaya jagoan serta penuh kesadaran pada sebuah acara.
Menurutnya, kata-kata itu sungguh keterlaluan. Makna kata bajingan itu penjahat, tolol artinya amat bodoh, dan pengecut itu penakut atau munafik. Benarkah Prabu Puntadewa demikian itu? Pantaskah pemimpin Amarta itu digerujuk dengan kata-kata amat kasar tersebut?
“Bagaimana menurutmu?” tanya Gareng kepada kedua adiknya. “Saya marah! Ini pemimpin kita, kok dimaki-maki seperti maling!”
“Sabar Kang. Wong sabar kuwi subur (orang sabar itu akhirnya bahagia),” ujar Petruk. “Seperti Ndara (Bendara) Puntadewa itu lo, Kang.”
Pada hari itu Gareng, Petruk, dan Bagong berkumpul bercengkerama di emperan rumah bapaknya, Semar Badranaya, di Dusun Klampisireng. Itu kebiasaan mereka ketika tidak ada tugas di Amarta atau mendampingi kesatria Pandawa lelaku brata (prihatin).
Petruk mengatakan bahwa setiap kata yang terucap mencerminkan pribadinya yang bicara. Orang berpendidikan, mereka yang terpelajar, akan menggunakan diksi kata elegan setiap melontarkan kritik, sekeras apapun pesannya. Berilmu itu selaras dan sebangun dengan etika, itulah bermartabat.
Namun, lanjutnya, terkadang ada orang pintar tapi perilaku kasar. Itu kemungkinan besar karena ada faktor psikologis yang membuatnya demikian. Adanya persoalan personal atau masalah kronis pribadi dan keluarga bisa menjadi pemicu seseorang melakukan sesuatu yang nalarnya tidak mungkin.
“Maaf ya Kang, itu pendapat saya,” ujar Petruk sambil tersenyum.
Sementara itu, Bagong mengatakan seingatnya bahwa orang itu, rumahnya dilempari telur dan tomat oleh warga karena ucapannya, bukan pengamat politik kaleng-kaleng. Sebelumnya, kondang sebagai ahli mendungu-dungukan liyan. Prabu Puntadewa juga biasa dijadikan langganannya.
“Kini kosakatanya bertambah dan bobotnya meningkat. Bisa jadi nanti ada kata baru lagi yang lebih ‘berkualitas’,” lanjut Bagong dengan terkekeh-kekeh.
“Maksudmu, apa Gong (Bagong)?” tanya Petruk yang ikut tersenyum lebar.
Guyonan kedua adiknya itu tak membuat Gareng pudar marahnya. Ia masih bersungut-sungut. Tak secuilpun senyum di wajahnya yang sudah menua.
Bagong menjawab, kemungkinan kreativitas orang itu mencari kata-kata baru sangat terbuka. Kenapa? Karena makian yang selama ini dihamburkan guna meningkatkan daya gedor (konon) kritik ternyata majal, tidak mempan.
Maka, lanjut Bagong, ketika kata bajingan, tolol, pengecut itu nanti juga tidak ngefek, atau membuahkan hasil yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan kulakan kata-kata anyar lagi yang lebih dahsyat.
“Rasanya logis. Ini, Ndara Puntadewa juga santai-santai saja. Seperti yang sudah-sudah, ketika dihina beliau tidak menempuh jalur hukum, apalagi menggunakan kekuasaan. Lebih baik bekerja dan bekerja,” kata Petruk.
Seiring terdengar nyanyian burung kutilang di pohon kelengkeng, Semar keluar dari pintu tengah dan menimbrung, “Bener thole (anak-anak), Ndara Puntadewa tidak akan menggubris hal-hal sepele. Ndara akan tiwikrama bila negara diusik.”
Menjelang siang, semilir angin membelai Klampisireng yang aman tenteram. Persawahan dan perladangan yang menghijau subur di sana-sini membuat musim bediding yang kering terasa sejuk dan segar.
Negara sebenarnya memberi fasilitas kepada Panakawan untuk tinggal di kota. Tapi Semar dan ketiga anaknya memilih menetap di Klampisireng. Selain nyaman hidup bersama rakyat biasa, pamrih mereka agar bisa melihat dengan bening apapun yang terjadi pada momongan mereka, Pandawa.
“Ndara Puntadewa tidak memedulikan orang-orang yang merundungnya karena mereka itu hanya ‘Gurem ceceker’,” papar Semar.
“Tahu Gong, artinya Gurem ceceker?” tanya Petruk.
“Tahu-lah,” jawab Bagong.
Gurem (guram) itu jenis kutu ayam ketika sedang mengerami telurnya. Biasanya sangat banyak dan amat kecil. Tidak terlalu berbahaya bagi tubuh manusia, hanya membuat badan gatal dan risi. Sedangkan ceceker itu artinya mengais-ngais.
“Gurem ceceker itu perilaku yang sama sekali tidak ada nilai atau pengaruhnya,” saut Gareng yang tampak mulai reda marahnya. “Itu hanya perbuatan usil saja.”
Semar mengajak semua warga Amarta berlaku utama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setiap ucapan dan tindakan berbudaya luhur, yang beretika dan berunggah-ungguh. “Itu jati diri kita, thole.”
Peradaban seperti itu, lanjut Semar, bukan berarti menolak adanya koreksi. Kritik tetap dibutuhkan. Hikmatnya, Prabu Puntadewa sangat menghormati dan suka masukan. Tapi, seyogianya kritik itu yang berisi dan berguna serta bernurani.
“Budaya kita ini jangan dikotori dengan penyakit caci maki, umpatan, hinaan. Jangan pula menjadi sawah dan ladang suburnya fitnah. Mari kita bersama-sama membangun bangsa dan negara ini dalam suasana kekeluargaan,” ajak Semar.
“Maaf pak, saya menambahi,” sela Bagong. “Juga jangan kemana-mana menebar gaduh. Biasakan kita lebih suka melihat ke dalam, introspeksi, mengoreksi diri. Apa yang sudah kita sumbangkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara ini.”
“Tumben, Gong,” pungkas Petruk. ***