Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
RAJA Astina Prabu Duryudana marah kepada Yamawidura yang diam-diam intens menjalin komunikasi dengan Pandawa menjelang perang Bharatayuda. Apalagi dari info yang dilaporkan telik sandi, sang paman cenderung mendukung Pandawa.
Yamawidura dituding tidak tahu diri. Tinggal di wilayah kekuasaan Astina tetapi berpihak kepada lawan. Perilakunya itu juga dianggap tak beretika serta melanggar sumpah jabatan sebagai penasihat raja Astina.
Seizin ayahnya (Drestarastra), Duryudana memanggil Yamawidura ke istana Astina untuk klarifikasi. Yamawidura mengaku dirinya memang kerap bertamu ke Amarta bermaksud merukunkan Pandawa dengan Kurawa karena sama-sama trah Abiyasa.
Putra bungsu
Peran Yamawidura dalam perpolitikan Astina tampak kurang menonjol. Ini karena ia tidak suka publikasi dan jarang muncul ke permukaan. Kesatria irit bicara ini juga lebih senang jika kiprahnya tidak diketahui banyak orang tetapi bermanfaat.
Yamawidura ialah putra bungsu Raja Astina Prabu Kresnadwipayana alias Abiyasa yang lahir dari rahim Datri, dayang istana. Dua saudaranya laki-laki tapi lain ibu. Sulungnya Drestarastra beribu Ambika, sementara itu Pandu putra Ambalika.
Seperti kakaknya, sejak kecil Yamawidura tekun belajar berbagai ilmu di bawah bimbingan Resi Bhisma. Dewasanya menguasi bidang hukum serta ahli tata negara dan pemerintahan. Selain itu, pribadinya bijaksana, sederhana, serta rendah hati.
Ketika ayahnya lengser, kekuasaan dilungsurkan kepada Pandu yang naik takhta bergelar Prabu Pandu Dewanata. Yamawidura bersama Drestarastra didapuk menjadi penasihat raja. Patihnya dijabat Gandamana, pemuda perkasa dari Pancala.
Sehari-hari Yamawidura tinggal di Kesatrian Pagombakan yang masih di dalam wilayah kekuasaan Astina. Ia dan istrinya, Padmarini, memiliki dua putra, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sanjaya bertugas sebagai juru penuntun uaknya, Drestarastra, yang buta.
Selain bertugas sebagai paranpara raja, Yamawidura suka membimbing Pandawa, lima anak laki-laki keponakannya, putra Pandu. Tetapi, entah kenapa ia tidak melakukan hal yang sama terhadap Kurawa, seratus orang putra Drestarastra.
Mungkin, itu karena Kurawa gemar berdekatan dengan paman dari ibu (Gendari), yaitu Arya Suman alias Sengkuni. Yamawidura terus terang tidak simpati kepada Sengkuni lantaran, hikmatnya, tidak mendidik Kurawa menjadi para kesatria.
Sebenarnya secara formal, istana atas inisiatif Resi Bhisma, menunjuk Kumbayana sebagai guru para pangeran Astina tersebut. Mereka diajarkan banyak ilmu, termasuk perang, di Padepokan Sokalima. Tidak ada perbedaan kurikulum antara Kurawa dan Pandawa.
Namun, karena ada tokoh berbeda di balik mereka, Kurawa dan Pandawa menjadi pribadi-pribadi yang karakternya bertolak belakang. Kurawa menggambarkan sifat angkara murka, sebaliknya Pandawa melambangkan kesatria utama.
Berdiplomasi
Pada suatu waktu, ketika keponakannya telah beranjak dewasa, Yamawidura mencium gelagat jahat Kurawa yang bernafsu ingin menguasai takhta Astina. Aksi politiknya, dengan diotaki Sengkuni, merancang pembasmian Pandawa.
Gerakan bawah tanah itu diirencanakan pada malam sebelum Pandawa menerima warisan takhta dari raja ad-interim Drestarastra. Bapaknya Kurawa itu mengemban amanah sementara pasca Pandu Dewanata mangkat saat Pandawa masih belia.
Yamawidura secara dhedhemitan (diam-diam) menyuruh bala membuat gua di Bale Sigala-gala, tempat menginap Pandawa dan ibunya, Kunti. Kemudian ia menemui Bratasena, anak kedua dalam keluarga Pandawa, memberi tahu tentang gerak-gerik mencurigakan Kurawa serta adanya gua bila terjadi sesuatu.
Benar adanya. Kala dini hari yang sepi dan dingin menyergap, Bale Sigala-gala berkobar dibakar Puracona, begundal bayaran suruhan Sengkuni. Bratasena sigap menggendong dan menggotong keempat saudaranya serta ibunda, lalu memasuki gua sehingga selamat dari amukan api.
Dalam episode lain, Yamawidura mendengar kabar bahwa Pandawa dan Kurawa digariskan bakal berperang di Kurusetra yang disebut Bharatayuda. Menurut dewa, perang itu terkait dengan kekuasaan tetapi sesungguhnya itu peristiwa perangnya antara nafsu baik dan buruk.
Bagi Yamawidura, bagaimanapun Pandawa dan Kurawa itu saudara, trah Abiyasa, sama halnya dengan dirinya dan keluarga. Dengan niat tulus, ia berupaya jangan sampai terjadi perang. Kurawa dan Pandawa harus rukun selamanya.
Oleh karena itu, tanpa banyak bicara, Yamawidura melobi para sesepuh dan elite Pandawa dan Kurawa. Ia berdiskusi dengan Resi Bhisma, Begawan Durna, Resi Krepa, dan lainnya. Ke pihak Pandawa, ditemuilah Raja Wiratha Matswapati, juga Sri Bathara Kresna, dan Semar Badranaya.
Diplomasi Yamawidura ke pihak Pandawa itulah yang dipersoalkan Duryudana. Selain karena tidak meminta izin, juga dianggap menyepelekan kewibawaan raja. Dasar hukumnya Yamawidura masih sebagai paranpara raja meskipun sejak pergantian kekuasaan, yang bersangkutan tidak aktif.
Setelah diklarifikasi, tidak ada sanksi. Pada kesempatan itu, Yamawidura menolak permintaan Duryudana agar berpihak kepada Kurawa. Dirinya tidak akan ikut campur dalam Bharatayuda bila benar-benar terjadi. Alasannya, Kurawa dan Pandawa sama-sama kulit dagingnya sendiri.
Jalan hidupnya
Namun, kedua putranya, Sanjaya dan Yuyutsuh, mendukung Pandawa karena menganggap kelima kakak sepupunya itu berada pada pihak yang benar. Keduanya gugur di medan laga saat berhadapan dengan senapati Kurawa, Karna Basusena.
Dikisahkan, Yamawidura berumur panjang. Ia meninggal ketika bertapa di hutan setelah Pandawa unggul dalam Bharatayuda dan menggenggam kedaulatan Astina dan Amarta yang kemudian digabung menjadi negara Yawastina.
Inilah kisah politikus yang tidak banyak bicara tapi banyak bekerja. Ia berjuang demi terwujudnya persatuan dan kesatuan seluruh anak bangsa. Apapun yang terjadi, itulah jalan hidupnya yang membuatnya tenteram hingga akhir hayat. ***