Ono Sarwono (Kader NasDem)
KETIKA Kurawa menjadi peserta yang lolos kualifikasi sayembara, sebagian rakyat Pancala menolak kehadirannya. Ada pula dua adipati yang bersikap sama. Alasannya, Kurawa ialah durjana yang merampas takhta Astina milik Pandawa.
Prabu Drupada jadi gamang. Namun, adik iparnya, Gandamana, meyakinkan bahwa sayembara harus tetap digelar sesuai dengan jadwal demi menjaga martabat bangsa dan negara. Gandamana sanggup menanggung segala risikonya.
Akhirnya, sayembara berlangsung meriah dan sukses. Impian dan harapan Drupada pun menjadi kenyataan, yaitu berbesanan dengan gurunya, mendiang Prabu Pandu Dewanata. Putrinya, Drupadi, menjadi milik Pandawa, pemenang sayembara.
Memanah rambut
Syahdan, Raja Pancala Prabu Drupada gugup dengan banyaknya lamaran kepada putri sulungnya, Drupadi. Putra mahkota, Drestajumna, lalu usul kepada ayahanda agar mengadakan sayembara saja. Pesertanya pun dibatasi dari kalangan kesatria.
Sayembaranya perlombaan memanah sehelai rambut Drupadi yang diikat di ujung sebuah tiang. Sementara itu, busur yang digunakan memanah gandiwa, pusaka Pancala. Barang siapa yang memanah tepat sasaran berhak memboyong Drupadi.
Drupada menerima usulan tersebut dan para nayakapraja menyetujui. Seingat raja, kesatria terhebat di dunia dalam kepiawaian menjemparing hanya Permadi, putra Pandu. Ia bermimpi memiliki menantu kesatria tampan dan rendah hati tersebut.
Tapi, kabar yang didengar, Permadi beserta kakak (Puntadewa, Bratasena) dan adik (Tangsen-Pinten) dan ibunya, Kunti, tewas hangus dalam peristiwa kebakaran Bale Sigalagala. Terungkap, aksi genosida itu dilakukan preman pasar suruhan Kurawa.
Dalam kegaluannya, lamat-lamat Drupada mendengar bisikan gaib yang menyebut Pandawa selamat tapi tak diketahui keberadaannya. Seraya berharap Pandawa benar lolos dari bencana, sayembara tetap dilangsungkan sesuai dengan rencana.
Begitu banyak kesatria yang melamar. Tercatat di antaranya Kurawa dan balanya, Karna Basusena. Ketika tersiar Kurawa sebagai peserta, sebagian rakyat dan dua adipati menolak kehadiran mereka. Dasarnya, konstitusi yang anti-penjajahan.
Penolakan itu menyulut kegaduhan. Gandamana tampil menenangkan rakyat dan menasihati agar bersikap kesatria. Tidak boleh ada penolakan terhadap peserta bila memenuhi syarat. Kebencian terhadap Kurawa harus disalurkan dengan elegan.
Sayembara akhirnya tetap digelar dan berlangsung meriah. Malah dua adipati dan sebagian rakyat yang semula menolak ikut menonton. Apa yang terjadi? Jangankan memanah, mengangkat gandewa saja tidak ada satu peserta pun yang mampu.
Paman Kurawa, Sengkuni, menghadap Drupada. Menurutnya, kesatria yang punya potensi mampu memanah target rambut hanya Permadi. Masalahnya, lelaki itu telah tamat riwayatnya. Lalu, apakah Drupadi akan dibiarkan perawan selamanya.
Sengkuni mengusulkan sayembara diganti perang tanding. Ketika Drupada lagi berpikir, Gandamana menerima dan pasang badan, siapa yang bisa membunuh dirinya berhak atas Drupadi. Raja hanya bisa mengikuti kehendak adik.
Tiga brahmana
Para kesatria yang semula gagal dalam lomba memanah berbondong-bondong kembali mengikuti sayembara. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktian Gandamana, mantan patih Astina rezim Pandu Dewanata.
Putra Mahkota Mandura, Kakrasana, juga ikut sayembara atas perintah sang ayah, Prabu Basudewa. Tapi, lelaki perkasa itu pun pamit, meninggalkan gelanggang karena tidak kuat menandingi Gandamana meski sebenarnya sudah menua.
Sedangkan Kurawa tidak ada satu pun yang berani melawan Gandamana. Sengkuni lalu memerintahkan keponakannya main keroyok. Tapi, Kurupati dan adik-adiknya tersapu aji bandung bandawasa hingga terlempar dan jatuh terjerembab di hutan.
Setelah tiada peserta yang bertahan, tiba-tiba datang tiga brahmana muda tampak lemah menyatakan ingin mengikuti sayembara. Drupada tidak berkenan dan mengusir mereka karena perlombaan diperuntukkan khusus bagi kesatria.
Gandamana membisiki Drupada supaya memberi kesempatan kepada brahmana itu. Ia mencium gelagat bahwa tiga orang yang berdandan dan mengaku brahmana itu hanya penyamaran. Dari tingkah dan lakunya, ia yakin mereka itu Pandawa.
Brahmana paling besar bernama Wasi Balawa naik ke gelangggang. Gandamana mendekati dan mengaku tahu bahwa Balawa sejatinya Bratasena. Untuk itu tidak perlu ada perang karena kesatria yang selama ini dicari ada di depannya.
Balawa menolak dan ngotot tetap ada perang tanding. Akhirnya, setelah dengan berbagai cara Gandamana gagal mencari jalan agar tidak terjadi perang, maka terpaksa meladeni Balawa. Tapi Bratasena juga bukan tandingan Gandamana.
Saat tertelikung, Balawa sambat mati kepada ibu dan saudaranya. Pun menyebut-nyebut bapaknya, Pandu. Mendadak Gandamana gemetar dan tenaganya melemah. Balawa melepaskan diri dan kuku pancanakanya menembus jantung Gandamana.
Bratasena memeluk Gandamana yang sekarat. Drupada menghampiri sambil menangis. Dalam sekaratul maut, Gandamana berkata kepada sang raja bahwa sejatinya tiga brahmana itu ialah Puntadewa, Bratasena, dan Permadi.
Patriot sejati
Permadi memohon izin mencoba sayembara awal. Ia angkat gandiwa dan memanah rambut Drupadi yang diikat di ujung tiang. Panengah Pandawa itu menjemparing tepat sasaran. Inilah yang membuat Drupada tambah bungah.
Singkat cerita Drupadi menjadi milik Pandawa. Atas kehendak Kunti, Drupadi dijodohkan dengan Puntadewa. Kelak, putri halus budinya itu menjadi permaisuri mustikaning jagat (contoh hebat) ketika sang suami menjadi raja di Amarta.
Inilah sekelumit kisah sayembara Drupadi alias Pancali yang semula terancam gagal karena pesertanya ada wong Kurawa. Tapi perhelatan kelas dunia itu tetap berjalan berkat peran dan pengorbanan Gandamana, pejuang dan patriot sejati.