Ono Sarwono (Kader NasDem)
PUTUSAN mejelis hakim terhadap para terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat dinilai adil oleh banyak orang. Pengadilan terbukti bukan sekadar tempat penyelesaian masalah melainkan benar-benar telah melahirkan keadilan.
Vonis itu memang belum berkekuatan hukum tetap karena jaksa dan sebagian terpidana mengajukan banding. Tetapi hakim pengadilan lebih tinggi diperkirakan tidak akan bermain-main dengan mengubah putusan tersebut secara radikal.
Dalam perspektif dunia wayang, vonis tersebut ibarat Bathara Wisnu, Dewa Keadilan, sungguh-sungguh mengejawantah. Menurut kisahnya, Wisnu selalu hadir di bumi dengan cara menitis kepada titah untuk menebar keadilan.
Perselingkuhan
Pada suatu era, Wisnu menitis pada Kresna. Insan berdarah Mandura yang nama kecilnya Narayana ini kemudian menjelma menjadi tokoh mendunia karena kiprahnya sebagai pengadil. Ia kondang dengan sebutan Sri Bathara Kresna.
Sebagai ayah sekaligus penguasa Dwarawati, Kresna pernah menghadapi persoalan pelik ketika ada kasus pembunuhan yang melibatkan putranya. Tetapi karena sadar bahwa dirinya titisan Wisnu, maka tiada kompromi, keadilan harus tegak.
Syahdan, Sitija alias Boma Narakasura murung ketika sinewaka (berada) di sitinggil istana Trajutrisna. Para nayaka praja yang menghadap saat itu pun larut dalam kesedihan sang raja. Ibarat mendung menggelap mencapai puncaknya.
Hati Sitija terasa teremas-remas karena sang istri, Dewi Hagnyanawati, mengaku berulang kali diganggu Samba alias Wisnubrata. Tapi, kabar dari para telik sandi yang diterima, sang permaisuri berselingkuh dengan adik iparnya itu.
Baik Sitija maupun Samba sama-sama putra Kresna tapi lain ibu. Sitija lahir dari Dewi Pertiwi, sedangkan Samba dari rahim Dewi Jembawati. Sijita menjadi raja di negara Trajutrisna, sementara itu Samba tinggal di kasatrian Paranggaruda.
Informasi terakhir yang kian membuat Sijija geram karena Hagnyanawati yang menghilang dari taman kaputren ternyata kumpul kebo dengan Samba di Istana Dwarawati. Barangkali keduanya merasa aman bermain cinta di pura bapaknya.
Namun, beberapa saat kemudian terjadi antiklimak. Entah ada bisikan apa dan dari mana datangnya, Sitija yang semula begitu marah mendadak tenang. Di depan balanya, ia mengutarakan keinginannya menikahkan Samba dengan Hagnyanawati.
Keputusannya itu, lanjutnya, untuk mencegah berlarutnya zina yang juga merusak kehormatannya. Oleh karena itu, ia rela melepaskan istri demi kebahagiaan Samba. Apalagi, Hagnyanawati memang diakuinya tidak mencintai dirinya setulus hati.
Patih Pancatyana menengadah memandang sang raja dengan nada bingung dan tidak percaya. Kenapa majikannya begitu lemah, padahal Samba dengan terang-terangan mempermalukannya. Perilaku kurang ajar tetapi seperti malah diganjar.
Sitija mengulangi bahwa keputusannya jalan terbaik. Meski terasa pahit tetapi itu lebih baik untuk mengakhiri peristiwa memalukan tersebut. Ini juga atas sayangnya kepada Samba yang digadang-gadang menjadi putra mahkota Dwarawati.
Untuk menindaklanjuti, Sitija mengutus Ditya Maudara dan Ditya Ancakogra ke Dwarawati. Misinya menjemput Samba dan Hagnyanawati untuk bersamanya ke Trajutrisna. Sang kakak akan menikahkannya sebagai suami-istri yang sah.
Gojali Suta
Prabu Kresna menerima duta Trajutrisna ketika sedang menggelar rapat terbatas bersama sang patih Udawa dan senapati Setyaki. Topik yang dibacarakan saat itu ternyata terkait pula dengan perilaku Samba yang membawa lari kakak iparnya.
Setelah dipersilakan duduk, Maudara matur (bicara) bahwa dirinya bersama Ancakogra diutus majikannya menjemput Samba dan Hagnyanawati. Dua insan yang dimabuk asmara itu akan diresmikan sebagai suami-istri di Trajutrisna.
Kresna mempertanyakan kenapa Sitija tidak datang sendiri ke Dwarawati. Kedua utusan itu tidak bisa menjawab karena hanya mendapat tugas tersebut. Meski demikian, Samba dan Hagnyanawati dipersilakan ke Trajutrisna.
Sesampainya di Trajutrisna, Samba takut dengan kemungkinan kemarahan sang kakak. Tapi perasaan itu hilang ketika Sitija menyambutnya dengan hangat.
Di tengah proses persiapan pernikahan, Pancatyana memprovokasi sang raja akan harga diri dan martabatnya. Mendadak Sitija yang semula kalem berubah menjadi emosional. Mukanya memerah, matanya nanar, bibirnya bergetar.
Samba bukanlah lagi adik yang disayangi tetapi makhluk terkutuk. Dengan amarah yang luar biasa Sitija menggelandang dan menggebuki Samba hingga terkulai. Tidak sampai di situ, tubuhnya diremuk hingga tak berbentuk lagi.
Pembunuhan keji itu terdengar hingga Dwarawati. Kresna menyatakan hukum harus ditegakkan. Meskipun Sitija anaknya sendiri tetapi karena bersalah maka tetap diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sitija membela diri dan melawan karena yang dilakukan demi menjaga martabat. Maka, terjadilah perang ayah melawan anak yang dalam pakeliran dikenal dengan lakon Gojali Suta.
Sitija hancur lebur terhantam pusaka maha sakti cakra yang dilepaskan Kresna. Setelah itu, dengan pusaka kembang wijayakusuma, Kresna menganulir kematian Samba karena belum takdirnya.
Tegaknya keadilan
Poin kisah singkat ini tentang tegaknya keadilan. Kresna tidak bimbang dan ragu menindak pelaku pelanggaran hukum meskipun terdakwa adalah kulit dagingnya sendiri. Inilah yang disebut hukum tidak pandang bulu.
Dalam konteks institusi hukum, sikap Kresna tersebut sebagai cermin pengadilan yang memvonis pelaku tindak kejahatan (pembunuhan) dengan seadil-adilnya.
Dengan kata lain, ‘Bathara Wisnu’ benar-benar hadir. Mejelis hakim memutuskan berdasarkan keadilan sejati, yakni keadilan yang bersumber pada nurani, tidak terpengaruh oleh ‘drama’ di ruang pengadilan.***