Oeh: Ono Sarwono (Kader NasDem)
“UGAL-ugalan itu artinya apa kang (kakang),” tanya Bagong.
“Masak, itu ditanyakan Gong (Bagong), kan sudah jelas. Semua orang tahu. Ugal-ugalan itu sama saja dengan edan-edanan, awur-awuran!” kata Gareng ketus.
“Berarti gila-gilaan ya Kang,” kata Bagong.
Petruk menyela, “Bagong, kenapa kamu tiba-tiba menanyakan arti ugal-ugalan?”
Bagong bercerita baru saja membaca berita ada ketua umum sebuah parpol yang menyebut banyak kebijakan pemerintah yang aneh dan ugal-ugalan. Kebijakannya dinilai kumaha engke (bagaimana nanti), bukan engke kumaha (nanti bagaimana).
Petruk paham ketua umum parpol yang dimaksud. Tapi mengaku tidak paham tentang kebijakan yang dibilang ugal-ugalan karena tidak disebut secara spesifik. Hikmatnya, itu pernyataan gebyah-uyah ungkapan perasaan semata.
“Itu bukan kritik ya Le (adik)?” kata Gareng.
Menurut Petruk, kritik itu selain fokus terhadap obyeknya, juga harus didukung data dan fakta, misal tentang kelemahan atau kekurangannya. Ada perbandingan pemikiran lain yang mungkin lebih baik. Jadi bukan sekadar bicara tanpa dasar.
“Kang, kembali ke pertanyaan saya tadi, ugal-ugalan itu artinya apa?” desak Bagong.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kutip Petruk, ugal-ugalan itu berarti kurang senonoh (kasar) dalam bertingkah laku, kurang ajar, nakal. “Coba mari kita jujur melihat bersama, adakah kebijakan pemerintah yang diambil atau diputuskan dengan cara demikian itu.”
“Wah, kalau saya pribadi tidak tahu Le. Tapi, nalarnya apa iya sih pemerintah membuat kebijakan dengan kurang senonoh. Barangkali yang ngomong itu hanya melihat dari satu sudut, tidak komprehensif!” kata Gareng.
“Komprehensif itu apa, Kang?” tanya Bagong.
“Ngece (meledek), Le. Kakakmu ini diam-diam juga belajar politik, Le. Komprehensif itu secara luas dan lengkap, menyeluruh atau dengan wawasan yang luas. Itu kalau tidak keliru,” jawab Gareng dengan mata mendelik.
“Peace, Kang,” kata Bagong sambil tertawa seraya mengangkat jari telunjuk dan tengah membentuk huruf ‘V’.
Anak bungsu Semar itu lantas mengatakan bahwa dengan menggarisbawahi arti ugal-ugalan yang disampaikan Petruk, maka pernyataan yang menyebut kebijakan pemerintah ugal-ugalan justru itu yang ugal-ugalan. “Mungkin tidak sadar bila pernyataannya itu ugal-ugalan.”
Ketiganya lalu tertawa berbarengan. Mereka lalu bersama-sama menyeruput wedang jahe sereh dengan pemanis gula batu. Selain minuman segar menyehatkan itu, ada makanan hasil kebun sendiri seperti gembili, ganyong, dan kacang rebus.
Berlagak jago
Selagi tidak ada tugas mendampingi bendara menjalani laku prihatin atau tapa brata, Pakanawan berkumpul bersenda gurau di rumah bapaknya, Semar, di Klampisireng. Kicau burung dan banyaknya kupu-kupu serta aneka bunga bermekaran pada hari itu menambah keasrian dusun.
Walaupun tidak langsung sepakat dengan pendapat Bagong, Petruk mengatakan warga negara Amarta di era sekarang banyak yang terkena wabah kurang bisa mengontrol ucapan. Dengan alasan kebebasan berpendapat ditambah merasa sok pinter dan berlagak jago lalu mengatai orang lain sekenanya.
Bukan terhadap sesama warga saja, katanya, pemimpin negara pun kerap menjadi obyek olok-olok, direndahkan, dihina atau bahkan difitnah. Kondisi seperti itu mengancam Amarta menjadi bangsa tak berderajat karena kehilangan adab.
Tiba-tiba Semar berjalan tertatih-tatih muncul dari pintu tengah dan lalu bergabung dengan ketiga anaknya duduk di atas lincak beralaskan tikar pandan. Pamong Pandawa itu tampak masih merasakan ketidaknyamanan pada kaki kanan.
“Sakitnya belum sembuh Pak?” tanya Petruk.
“Jelas belum sembuh ta Kang, kan kelihatan!” saut Bagong.
“Kamu itu nganyelke (menjengkelkan) Gong. Asal nyaut saja,” sergah Petruk.
“Masih ada sedikit sakitnya,” kata Semar. Sudah sekitar satu pekan Ki Badranaya sakit asam urat. Penyakitnya itu kambuh setelah terlalu banyak memamah emping kesukaannya.
“Ini tadi pada bicara, apa?” tanya Semar.
Petruk menjelaskan sedang merasani elite parpol yang menyebut banyak kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan. Kebijakan yang dianggap tidak melihat dampaknya terhadap rakyat nantinya, bukan kebijakan yang melihat nanti rakyat bagaimana.
Kening Semar mengerut mencoba memahami apa yang diucapkan Petruk. “Saya memang miris dan prihatin dengan kebebasan serta cara warga Amarta bicara. Semua begitu enteng ngomong apa saja, dengan diksi-diksi sesukanya,” katanya.
Berbeda pendapat dan mengkritik dalam berpolitik, tutur Semar, itu wajar. Bahkan dibutuhkan sejauh itu untuk kebaikan bangsa. Namun, berdemokrasi itu tetap harus ada unggah-ungguhnya, dikelola dengan kultur yang baik.
Sikap rendah hati, sopan, santun atau budi pekerti, lanjutnya, seperti sudah menjadi ‘barang’ usang. Banyak orang malah merasa bangga bila bisa menyebut atau meledek pihak lain dengan kata-kata ekstrem.
“Saya jadi ingat seseorang yang ngalor-ngidul (ke mana-mana) mendungu-dungukan liyan,” kata Bagong. “Eh, dungu itu apa sih, Kang?”
“Tumpul otak, bodoh, bebal!” ujar Petruk.
“Menurut saya, orang seperti itu termasuk juga jenis orang ugal-ugalan,” kata Bagong. “Tak pernah metani awake dhewe (mengoreksi diri).”
Semar mengingatkan hukum alam mengatur bahwa apapun yang diniatkan dan dilakukan dengan tidak baik akan berakibat tidak baik pula, dan begitu juga sebaliknya. “Jangan merasa rugi berpolitik dengan adab.”
Sang surya mulai condong ke barat. Panggilan sembahyang siang pun telah berkumandang. Panakawan membubarkan diri bersiap melakukan kewajiban masing-masing.