Ditulis oleh Ono Sarwono, Kader NasDem.
JUDUL di atas dikutip dari pernyataan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh ketika mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Anies adalah satu dari tiga bakal capres hasil rakernas NasDem. Dua nama lain, Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa.
Surya mengatakan hal itu untuk menegaskan alasan kenapa pihaknya memilih Anies. Ungkapan why not the best kurang lebih berarti mengapa tidak yang terbaik. Dalam konteks ini, maksudnya Anies-lah yang terbaik dari yang baik-baik atau primus inter pares.
Dalam cerita wayang, Raja Astina Prabu Kresnadwipayana mengambil keputusan semacam itu ketika harus memilih satu di antara tiga putranya sebagai pemimpin (raja) penerus. Akhirnya, Pandu, putra kedua, yang dipilih karena dinilai the best.
Menjadi raja Astina
Syahdan, Kresnadwipayana merasa waktunya lengser keprabon (turun takhta) ketika anak-anaknya telah dewasa. Ia berkontemplasi dan menimbang-nimbang siapa dari ketiga putranya yang pantas melanjutkan kepemimpinan di Astina.
Sebelum dinobatkan sebagai raja, Kresnadwipayana alias Abiyasa berketetapan hati tidak akan berkuasa selamanya. Kesediannya menjadi raja semata menjalankan amanah sang ibu, Durgandini, karena kekosongan takhta Astina.
Ketika itu, dua putra mendiang Raja Astina Prabu Sentanu yang lahir dari rahim permaisuri, Durgandini, yakni, Citranggada dan Wicitrawirya, berurutan meninggal dunia pada usia muda tanpa memiliki anak. Dengan demikian, tidak ada lagi yang berhak menduduki singgasana raja.
Sebenarnya masih ada satu buah hati Sentanu dari pernikahan sebelumnya dengan Dewi Gangga, yakni Dewabrata. Tetapi lelaki linuwih (hebat) yang kondang bernama Bhisma itu telah bersumpah wadat dan tidak ingin menjadi raja.
Durgandini lalu berkehendak Abiyasa, putra dari pernikahan pertamanya dengan Resi Palasara, menjadi raja. Meski Durgandini tidak mengasuh sejak kecil tetapi hubungan batin antara anak dan ibu tetap dekat. Sejak orangtuanya berpisah, Abiyasa digulawentah bapaknya di pertapaan Sapta Arga.
Bagi Abiyasa, menolak perintah ibu itu tidak elok, durhaka. Maka tidak ada kata lain selain sendika dhawuh (bersedia). Namun, ia memohon agar diizinkan meletakkan jabatan jika nanti sudah memiliki putra sebagai generasi penerusnya.
Maka kekosongan takhta Astina terselamatkan. Dipilihnya Abiyasa ini juga sesuai dengan konstitusi. Dalam paugeran disebutkan bahwa ketika tidak ada keturunan raja, tahkta mesti diserahkan kepada ‘orang suci’. Abiyasa memenuhi kriteria itu karena mengikuti jejak ayahnya sebagai petapa di Sapta Arga.
Sebagai pendampingnya, Abiyasa juga tidak kuasa menolak saran ibunya untuk menikahi dua janda mantan istri dua saudaranya lain ayah (Citranggada dan Wicitrawirya), yakni Ambika dan Ambalika. Selain itu, sang raja juga menikahi Datri, dayang istana.
Tiga putra
Dari tiga perempuan itu Abiyasa memiliki tiga putra. Anak pertama lahir dari rahim Ambika yang diberi nama Drestarastra. Yang kedua, Pandu, buah hatinya bersama Ambalika. Sedangkan putra ketiga, Yama Widura, lahir dari Datri.
Kodratnya, fisik semua putra Abiyasa kurang sempurna. Drestarastra tidak bisa melihat (buta). Pandu tengeng. Si bungsu Yama Widura pincang. Bermacam-macam pendapat tentang penyebab ketidaksempurnaan ketiga pangeran tersebut.
Astina di bawah kepemimpinan Kresnadwipayana kian maju dan kuncara. Negara menjadi gemah ripah loh jinawi titi tata tentrem kerta raharja, tanahnya subur dan makmur, rakyat ayem tenteram dan sejahtera, tercukupi kebutuhannya.
Salah satu kunci sukses Kresnadwipayana ialah watak keresiannya yang menjadi roh setiap kebijakannya. Raja juga sederhana dan rendah hati. Rakyat mencintai sang pemimpin dan mendukung program-programnya.
Banyak negara lain yang menjalin persahabatan. Pun tidak sedikit pemimpin negeri lain yang ngangsu kawruh (menimba ilmu) kepemimpinan kepada sang raja. Inilah yang membuat Astina semakin dihormati dunia.
Seiring berjalannya waktu, tiga pangeran Astina beranjak dewasa. Mereka pun katam mengenyam berbagai ilmu, bukan hanya bidang pemerintahan dan perang tetapi juga ngelmu tosing balung uleting kulit (kedigdayaan).
Kresnadwipayana merasa sudah saatnya lengser dan menyerahkan kekuasaan kepada satu dari ketiga anaknya. Menurut paugeran turun-temurun, putra pertama atau sulung yang nglungsur keprabon (mewarisi takhta). Dengan demikian, Drestarastra yang berhak.
Namun, ada pasal lain dalam aturan tersebut bahwa raja mesti sehat jasmani dan rohani. Tafsir pasal ini menjadi penghalang Drestarastra menjadi raja karena buta. Akhirnya, dengan hak prerogatifnya Kresnadwipayana memutuskan memilih Pandu sebagai raja berikutnya.
Drestarastra legawa tidak menjadi raja karena menyadari kekurangannya. Baginya, Pandu sama saja karena kulit dagingnya sendiri, sama-sama putra Abiyasa. Sikap yang sama ditunjukkan Yama Widura.
Politik kebangsaan
Menurut Kresnadwipayana, Pandu yang terbaik. Dari segala sisi, bukan hanya fisik, putra keduanya itu memang lebih baik jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya. Jadi, Pandu pantas mengemban amanah dan diyakini bakal membawa bangsa dan negara semakin jaya.
Setelah segala persiapan rampung, Pandu dinobatkan sebagai raja Astina bergelar Prabu Pandudewanata dengan permaisuri Kunti dan Madrim. Dari kedua istrinya, Pandu memiliki lima anak yang dikenal dengan sebutan Pandawa.
Poin dari kisah singkat ini ialah memilih pemimpin itu mesti yang the best. Siapa pun dia, bila terbaik dari yang baik, moralnya mesti diusung dan didukung menjadi pemimpin. Itulah politik kebangsaan sejati.