JATENG.NASDEM.ID – KH. Najib Khayatul Makky atau yang akrab disapa Gus Khayat merupakan sosok yang sangat dekat dengan masyarakat Banjarnegara. Pria yang pernah menduduki kursi parlemen tingkat provinsi itu, saat ini, lebih memilih aktif untuk berjuang dari luar kursi parlemen.
Gayanya yang unik dan nyentrik, tidak heran jika Pengasuh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Alif Ba ini banyak disukai masyarakat. Bagaimana aktivitasnya?
Pria paruh baya ini jika dilihat sekilas akan membuat merinding. Rambut panjang yang terurai ditopang badan kekar berisi membuat orang terkadang takut untuk bercengkerama atau sekadar menyapa. Padahal, di balik penampilan yang terkesan sangar, ia menyimpan hati lembut sekaligus ramah dan murah senyum.
Bahkan, ia sangat familiar dengan siapapun yang mengajaknya bercengkrama tanpa memandang status dan jabatan.
Beberapa waktu lalu, pria kelahiran Banjarnegara, 30 Desember 1968, ini merespon warganet yang menolak penutupan tempat ibadah pada program PPKM Darurat yang dicanangkan pemerintah untuk membendung laju penyebaran virus Corona.
Sebagai seorang ulama yang kaya akan pengetahuan keagamaan, mantan anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ini justru tidak menggunakan dogma-dogma agama untuk menjelaskan arti penting pembatasan oleh pemerintah.
“Wonge pada aneh, nek mesjid dibuka seluas-luasnya, wonge pada ora jamaah, wonge pada ora pada maring mesjid, mbok deleng jamaah subuh, luhur, ashar, maghrib, isya, ya paling-paling sebaris rong baris,” katanya dalam Bahasa Jawa dialek Banyumasan.
“Tapi nek ana imbauan, kon ora melakukan kegiatan sementara karena adanya penularan Covid-19 diantaranya karena kerumunan, wonge geger kabeh. Seolah-olah ahli mesjid, ahli jama’ah, ahli ibadah, hmmm.. biasa bae, biasa-biasa bae ora usah ngegas, ya kaya kuwe, uwis, sing manut ya, nyong be manut,” ia menambahkan.
Penggunaan penjelasan tanpa membawa dalil dan dogma agama secara lugas yang digunakan Gus Khayat merupakan bentuk pengejawantahan dari upayanya lebih merakyat. Padahal, sosok ini telah belasan tahun nyantri di pesantren dan pendidikan formal. Ilmu agamanya sangat kental dan dalam. Caranya berdakwah lebih menggunakan gaya bahasa yang merakyat ketimbang gaya bahasa formal atau menggunakan istilah-istilah Arab.
Masih seputar Covid-19, ketika masyarakat heboh menolak jenazah terpapar Covid-19, Gus Khayat langsung mengambil keputusan untuk mempersilakan jenazah siapapun korban Covid-19 dimakamkan di tanah miliknya tanpa biaya. Hal ini dikatakan sebagai bentuk contoh kepada masyarakat bahwa orang yang meninggal dunia hukumnya fardlu kifayah, harus ada yang merawat dan tidak boleh ditolak.
“Dan saya Khayatul Makky, dari Pengasuh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Alif Baa siap apabila ada yang menolak jenazah yang kena virus corona, saya punya tanah yang sangat luas, puluhan hektar, silakan dimakamkan di tempat kami pondok pesantren alif baa, ikhlas lillahi ta’ala,” ujar alumni UII, Tri Bhakti, dan terakhir mendapat gelar Sarjana Hukum di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini.
Pada Pemilu 2019 lalu, Gus Khayat memilih untuk tidak kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Jawa Tengah, ia lebih nyaman untuk berjuang dari luar kursi parlemen yang lebih riil. Aktivitas sehari-harinya banyak dikonsentrasikan untuk mengajar santri-santrinya mengaji dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Padahal, konstituen banyak yang sowan untuk mendukungnya kembali mencalonkan diri. Tetapi pilihan hatinya teguh untuk mengabdikan diri di luar kursi parlemen. Sejumlah ormas diikuti oleh ulama nyentrik ini untuk menjadi ruang perjuangan, diantaranya Pemuda Pancasila.
Bukan isapan jempol semata tentang perjuangannya di luar kursi parlemen, berbagai langkah nyata telah dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Bahkan, ketika KH. Maimoen Zubair meninggal dunia di Makkah, Arab Saudi, Gus Khayat adalah orang yang mendampinginya sejak dari Tanah Air. Gus Khayat mendampingi sebagai seorang santri yang sangat menghormati kiainya.
Tidak hanya setia pada gurunya, ia juga sangat menghormati orang lain. Suatu ketika di Banjarnegara tertangkap seorang nenek yang mencuri dan diproses hukum. Atas inisiatifnya, ia melakukan mediasi dengan korban. Bahkan, Gus Khayat mengabdikan diri untuk membimbing nenek pencuri yang tinggal sebatang kara tersebut untuk dijadikan murid.
“Sejak tiga tahun lalu saya mendirikan pondok pesantren ini khusus untuk orang-orang jalanan yang ingin bertobat, termasuk para residivis,” ia menjelaskan.
Putra pasangan KH. Muhammad Hasan dan Hj. Marfu’ah ini mengatakan di balik penampilannya yang nyentrik itu sebenarnya menjadi sarana agar tidak terjadi jarak dengan para santri yang didominasi anak-anak jalanan dan bekas pelaku tindak kriminal.
“Sebagai wadah masyarakat yang ingin belajar agama, belajar latihan bertobat dan belajar menjadi orang yang berguna,” ia menekankan.
Perjuangannya terkadang malah mendapat cibiran. Ada yang menganggap justru Gus Khayat yang terbawa arus menjadi anak jalanan. Namun, pada akhirnya pandangan itu luntur seiring banyaknya anak-anak jalanan yang kini menempuh jalur agama dan meninggalkan dunia kelamnya.
“Dilakukan secara istiqamah terus menerus secara edukatif, sehingga mereka akan kembali pada jalan Allah,” pungkas pecinta kendaraan klasik ini.
Gus Khayat, Berjuang di Luar Parlemen
JATENG.NASDEM.ID – KH. Najib Khayatul Makky atau yang akrab disapa Gus Khayat merupakan sosok yang sangat dekat dengan masyarakat Banjarnegara. Pria yang pernah menduduki kursi parlemen tingkat provinsi itu, saat ini, lebih memilih aktif untuk berjuang dari luar kursi parlemen.
Gayanya yang unik dan nyentrik, tidak heran jika Pengasuh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Alif Ba ini banyak disukai masyarakat. Bagaimana aktivitasnya?
Pria paruh baya ini jika dilihat sekilas akan membuat merinding. Rambut panjang yang terurai ditopang badan kekar berisi membuat orang terkadang takut untuk bercengkerama atau sekadar menyapa. Padahal, di balik penampilan yang terkesan sangar, ia menyimpan hati lembut sekaligus ramah dan murah senyum.
Bahkan, ia sangat familiar dengan siapapun yang mengajaknya bercengkrama tanpa memandang status dan jabatan.
Beberapa waktu lalu, pria kelahiran Banjarnegara, 30 Desember 1968, ini merespon warganet yang menolak penutupan tempat ibadah pada program PPKM Darurat yang dicanangkan pemerintah untuk membendung laju penyebaran virus Corona.
Sebagai seorang ulama yang kaya akan pengetahuan keagamaan, mantan anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ini justru tidak menggunakan dogma-dogma agama untuk menjelaskan arti penting pembatasan oleh pemerintah.
“Wonge pada aneh, nek mesjid dibuka seluas-luasnya, wonge pada ora jamaah, wonge pada ora pada maring mesjid, mbok deleng jamaah subuh, luhur, ashar, maghrib, isya, ya paling-paling sebaris rong baris,” katanya dalam Bahasa Jawa dialek Banyumasan.
“Tapi nek ana imbauan, kon ora melakukan kegiatan sementara karena adanya penularan Covid-19 diantaranya karena kerumunan, wonge geger kabeh. Seolah-olah ahli mesjid, ahli jama’ah, ahli ibadah, hmmm.. biasa bae, biasa-biasa bae ora usah ngegas, ya kaya kuwe, uwis, sing manut ya, nyong be manut,” ia menambahkan.
Penggunaan penjelasan tanpa membawa dalil dan dogma agama secara lugas yang digunakan Gus Khayat merupakan bentuk pengejawantahan dari upayanya lebih merakyat. Padahal, sosok ini telah belasan tahun nyantri di pesantren dan pendidikan formal. Ilmu agamanya sangat kental dan dalam. Caranya berdakwah lebih menggunakan gaya bahasa yang merakyat ketimbang gaya bahasa formal atau menggunakan istilah-istilah Arab.
Masih seputar Covid-19, ketika masyarakat heboh menolak jenazah terpapar Covid-19, Gus Khayat langsung mengambil keputusan untuk mempersilakan jenazah siapapun korban Covid-19 dimakamkan di tanah miliknya tanpa biaya. Hal ini dikatakan sebagai bentuk contoh kepada masyarakat bahwa orang yang meninggal dunia hukumnya fardlu kifayah, harus ada yang merawat dan tidak boleh ditolak.
“Dan saya Khayatul Makky, dari Pengasuh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Alif Baa siap apabila ada yang menolak jenazah yang kena virus corona, saya punya tanah yang sangat luas, puluhan hektar, silakan dimakamkan di tempat kami pondok pesantren alif baa, ikhlas lillahi ta’ala,” ujar alumni UII, Tri Bhakti, dan terakhir mendapat gelar Sarjana Hukum di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini.
Pada Pemilu 2019 lalu, Gus Khayat memilih untuk tidak kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Jawa Tengah, ia lebih nyaman untuk berjuang dari luar kursi parlemen yang lebih riil. Aktivitas sehari-harinya banyak dikonsentrasikan untuk mengajar santri-santrinya mengaji dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Padahal, konstituen banyak yang sowan untuk mendukungnya kembali mencalonkan diri. Tetapi pilihan hatinya teguh untuk mengabdikan diri di luar kursi parlemen. Sejumlah ormas diikuti oleh ulama nyentrik ini untuk menjadi ruang perjuangan, diantaranya Pemuda Pancasila.
Bukan isapan jempol semata tentang perjuangannya di luar kursi parlemen, berbagai langkah nyata telah dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Bahkan, ketika KH. Maimoen Zubair meninggal dunia di Makkah, Arab Saudi, Gus Khayat adalah orang yang mendampinginya sejak dari Tanah Air. Gus Khayat mendampingi sebagai seorang santri yang sangat menghormati kiainya.
Tidak hanya setia pada gurunya, ia juga sangat menghormati orang lain. Suatu ketika di Banjarnegara tertangkap seorang nenek yang mencuri dan diproses hukum. Atas inisiatifnya, ia melakukan mediasi dengan korban. Bahkan, Gus Khayat mengabdikan diri untuk membimbing nenek pencuri yang tinggal sebatang kara tersebut untuk dijadikan murid.
“Sejak tiga tahun lalu saya mendirikan pondok pesantren ini khusus untuk orang-orang jalanan yang ingin bertobat, termasuk para residivis,” ia menjelaskan.
Putra pasangan KH. Muhammad Hasan dan Hj. Marfu’ah ini mengatakan di balik penampilannya yang nyentrik itu sebenarnya menjadi sarana agar tidak terjadi jarak dengan para santri yang didominasi anak-anak jalanan dan bekas pelaku tindak kriminal.
“Sebagai wadah masyarakat yang ingin belajar agama, belajar latihan bertobat dan belajar menjadi orang yang berguna,” ia menekankan.
Perjuangannya terkadang malah mendapat cibiran. Ada yang menganggap justru Gus Khayat yang terbawa arus menjadi anak jalanan. Namun, pada akhirnya pandangan itu luntur seiring banyaknya anak-anak jalanan yang kini menempuh jalur agama dan meninggalkan dunia kelamnya.
“Dilakukan secara istiqamah terus menerus secara edukatif, sehingga mereka akan kembali pada jalan Allah,” pungkas pecinta kendaraan klasik ini. (NJ16)