Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
PUBLIK menunggu Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi aturan usia capres dan cawapres dalam UU No7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang dipersoalkan persyaratan capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun.
Di antara pemohon meminta syarat usia capres dan cawapres menjadi 21 sampai 65 tahun, ada juga yang usul usia capres maksimal 70 tahun. Ada pula dari 12 pemohon yang meminta syarat usia minimal menjadi 25 tahun dan 35 tahun.
Sebenarnya, syarat menjadi pemimpin itu bukan persoalan angka-angka usia tetapi pada substansinya. Maksudnya, calon pemimpin itu harus ‘berusia’, artinya matang dalam pengertian luas. Memang, matang biasanya terkait dengan faktor umur tetapi tidak mutlak.
Dalam cerita wayang, ada kisah seorang anak, bahkan belum cukup umur tetapi diberi tugas dan tanggung jawab yang begitu besar (berbahaya). Bagaimana agar berhasil, anak tersebut dimatangkan terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat mengemban amanah.
Kuntawijayadanu
Syahdan, rumah tangga Werkudara dan Dewi Arimbi amat bahagia dengan lahirnya putra mereka yang diberi nama Tetuka. Begitu juga keluarga Pandawa lainnya, semua menyambut sukacita atas kelahiran trah dan generasi penerus mereka.
Kegembiraan serupa juga menghiasi keluarga besar mendiang Raja Pringgondani Prabu Tremboko. Jabang bayi itu diharapkan menjadi kesatria utama dan calon pemimpin masa mendatang di negara yang didirikan kakeknya tersebut.
Namun, ada keprihatinan karena tali pusar Tetuka tidak bisa putus. Emban yang membantu persalinan mengaku sudah berulang kali memotong tetapi selalu gagal. Werkudara yang menggunakan Kuku Pancanaka juga tidak mampu memagas.
Paman sang bayi, Arjuna, yang mencoba memutus dengan sejumlah pusakanya, keris Kalanadah, panah Sarotama hingga Pasopati pun tidak membuahkan hasil. Kresna, yang menggunakan Cakra, hanya meletik menimbulkan percikan api.
Di tengah kegalauan mereka, datanglah Begawan Abiyasa untuk menyampaikan kebahagiaan atas kelahiran cicitnya tersebut. Terkait dengan ari-ari bayi, Abiyasa bersabda bahwa yang bisa untuk memotong hanya pusaka kahyangan.
Setelah berembug, disepakati Arjuna yang menjadi duta pencari pusaka. Dalam upaya itu, kesatria berpredikat lelananging jagat, lancuring bawana (terhebat di dunia), itu didampingi Semar dan ketiga anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Ketika sedang beristirahat di tengah hutan, Arjuna terkaget ketika Bathara Narada muncul dan tergopoh-gopoh menghampiri. Paranpara Kahyangan itu mengabarkan dirinya keliru memberikan pusaka kepada Karna yang dianggapnya Arjuna.
Sebelumnya, Karna bersemadi di belantara memohon anugerah dewa. Narada yang mangejawantah mengira sang petapa itu Arjuna karena silap dengan badan serta ketampanannya. Tanpa konfirmasi, Narada menyerahkan pusaka Kuntawijayadanu.
Dewa cebol itu tertegun karena tanpa mengucapkan terima kasih, Karna secepat kilat meninggalkannya. Baru sadar salah kala bersua kesatria yang dicari bersama Panakawan. Narada langsung menyuruh Arjuna merebut pusaka tersebut.
Kala Pracona-Sekipu
Kesatria Madukara itu berhasil menyusul Karna tetapi gagal merampas pusaka, hanya warangka (sarung)-nya saja yang didapat. Menurut Narada, meski hanya wadahnya, tetapi itu sudah cukup untuk memberesi tali pusar Tetuka.
Mereka lalu bersama-sama ke Kesatrian Jodipati, tempat tinggal Werkudara. Arjuna segera memotong ari-ari jabang bayi dan berhasil. Setelah putus, ajaibnya sarung Kuntawijayadanu tersebut lenyap, masuk ke pusar Tetuka.
Narada menyatakan, atas perintah Raja Dewa Bathara Guru, Tetuka harus segera ke kahyangan membantu dewa mengeyahkan Kala Pracona yang menginginkan Bathari Supraba sebagai permaisuri. Raja Gilingwesi itu dibantu patih Sekipu.
Tetuka dijagokan dewa karena semua penghuni kahyangan tidak ada yang mampu memundurkan Sekipu dan Pracona. Tapi, persoalannya, putra Werkudara itu masih bayi, sedangkan musuh yang bakal dihadapi raksasa sangat sakti.
Bathara Guru memerintahkan Narada terlebih dahulu njedhi (menggodok) Tetuka di Kawah Candradimuka. Semua dewa, tanpa kecuali, harus turut memohonkan doa kepada Sang Maha Pencipta agar bayi digdaya tiada tara.
Berkat kehendak Sanghyang Widi, Tetuka keluar dari Candradimuka bukan lagi bayi tetapi pemuda gagah perkasa. Badannya berotot dan tidak mempan segala senjata. Tubuhnya pun memancarkan keberanian dan kepercayaan diri.
Bathara Guru memberikan nama Gatotkaca dan kemudian diperintah memberesi Sekipu dan Pracona. Singkat cerita, dua buta satru dewa yang semula tak terkalahkan, dengan mudah dibinasakan sehingga kahyangan kembali aman.
Atas keberhasilannya memulihkan ketenteraman para dewa, Bathara Guru menghadiahi pusaka Kutang Antakusuma, Caping Basunanda, dan Kasutpada Kacarma. Pusaka-pusaka itu membuat Gatotkaca bisa terbang, kalis dari api dan hujan, serta tidak mempan gendam (sihir).
Selanjutnya, Gatotkaca tinggal di istana Pringgondani. Karier selanjutnya menjadi panglima perang (senapati) Amarta. Bersama putra Pandawa lainnya, Gatotkaca menjaga ketenteraman negara yang didirikan para pepundennya tersebut.
Jadi pemimpin
Pascamatinya Arimba, yang berkuasa menggantikan ayahnya (Tremboko), keluarga besar Pringgondani sepakat menobatkan Gatotkaca menjadi raja berikutnya. Meski masih berusia muda, putra Arimbi itu memiliki syarat sebagai pemimpin.
Ujian kepemimpinan Gatotkaca datang ketika pamannya, Brajadenta, karena hasutan patih Astina, Sengkuni, mengkudeta. Paman lainnya, Brajamusti, membelanya sehingga terjadi perang saudara dan akhirnya mati sampyuh (bersama).
Jasad Brajadenta dan Brajamusti menghilang dan menjadi ajian yang menyatu ke tangan kanan dan kiri Gatotkaca sehingga kesaktiannya kian menggiriskan.
Nilai dari kisah ini ialah menjadi pemimpin itu bukan persoalan angka usia tetapi kematangan dan kemampuannya. ***