Ditulis oleh Ono Sarwono (Kader NasDem)
DALAM cerita wayang tidak ada seorang paman yang begitu ‘jentelmen’ memberi jalan keponakannya menjadi penguasa di sebuah negara selain Arya Suman. Segala risikonya dihadapi dengan kalem dan penuh senyum. Harga diri pun dientengkan.
Ini juga kisah dimainkannya konstitusi negara. Suman tidak peduli dan tidak takut kepada siapa pun atas langkah inkonstitusionalnya. Tujuannya fokus menggendong Kurawa duduk di singgasana Astina dan mempertahankannya dengan segala cara.
Fitnah dan adu domba
Syahdan, Raja Astina Prabu Kresnadwipayana lengser keprabon madeg pandhita ratu, turun takhta dan menjadi guru bangsa. Penguasa berjiwa resi itu kembali ke Sapta Arga mengkhatamkan laku mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta.
Putranya nomor dua menggantikannya sebagai raja bergelar Prabu Pandudewanata. Pandu dipilih karena sulungnya, Drestarastra, cacat netra (buta) sehingga dianggap kurang memenuhi syarat menjadi raja. Putra tertua itu pun ikhlas dan legawa.
Namun, istri Drestarastra, Dewi Gendari, tidak terima. Seharusnya suaminya yang menjadi raja. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menggerutu dan curhat kepada Suman, adiknya. Kesedihan kakak yang tiada henti membuat Suman iba.
Suman berpikir sudah tak mungkin kakak ipar, Drestarastra, duduk di singgasana. Tapi, putranya yang harus berkuasa. Dari situlah ia memeras otak mencari celah dan peluang agar keponakannya, Kurawa, menggenggam kedaulatan Astina.
Sebenarnya, Suman bukan penduduk asli Astina. Ia warga Negara Plasajenar, putra Prabu Suwala-Dewi Sukesti. Keberadaannya di Astina karena ikut Gendari yang dipersunting Drestarastra. Semula, mbakyunya berharap dipinang Pandu.
Strategi awalnya, Suman menghasut Kurawa, yang terdiri dari seratus anak. Masa depan keponakannya pasti suram bila tidak berkuasa di Astina, apalagi itu hak bapaknya. Indoktrinasi itu membangun kebencian Kurawa kepada Pandu dan putranya, Pandawa.
Maka, ketika diadakan ujian perang-perangan siswa Padepokan Sokalima, Kurawa serius ingin membunuh Pandawa. Namun, aksi yang dibekingi Suman itu gagal. Malah, bila tidak dihentikan guru mereka, Durna, Kurawa menjemput ajal diganyang Pandawa.
Jalan lain kemudian ditempuh Suman. Patih Gandamana difitnah, diisukan tidak lagi setia kepada raja sehingga Pandu mencopot jabatannya. Kursi orang kedua di Astina diberikan kepada Suman, yang dianggap berjasa besar kepada negara.
Tidak sampai di situ, Pandu malah diadu-domba dengan Raja Pringgondani Prabu Tremboko. Padahal, hubungan keduanya harmonis. Saking eratnya, ibarat antara kakak dan adik. Tapi, karena ‘kelenturan’ mulut Suman, keduanya jadi bermusuhan.
Dalam perang tanding yang dikenal dengan sebutan Perang Pamuksa, Pandu dan Tremboko gugur. Akibatnya, singgasana Astina kosong dan atas kesepakatan para sentana dalem dan nayaka praja, Drestarastra mengemban amanah raja ad-interim.
Konsensusnya, kelak bila kelima anak Pandu (Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen dan Pinten) menginjak usia dewasa, kekuasaaan Astina dikembalikan kepada Pandawa. Drestarastra menjadi pengasuh dan pembimbingnya.
Rampas kekuasaan
Bagi Suman, ini peluang merampas kekuasaan. Maka, dirancanglah segala macam skenario untuk memuluskan jalan keponakannya berkuasa. Semua konsep dan akal busuk dimatangkan dan harus dieksekusi sebelum kekuasaan pindah ke Pandawa.
Pada suatu ketika dalam rapat peralihan kekuasaan dari Drestarastra ke Pandawa, Suman mengusulkan Puntadewa dan keempat adik beserta ibunya, Kunti, dijamu sehari sebelumnya. Ide itu disetujui dan dibangunlah balai sebagai tempat pesta.
Apa yang terjadi? Pada dinihari balai itu dibakar Puracona, preman binaan Suman, hingga ludes jadi abu. Pandawa dan Kunti dipastikan mati hangus. Peristiwa pilu yang diarsiteki Suman itu lalu dilaporkan kepada Drestarastra sebagai bencana.
Saat Drestarastra dilanda kesedihan mendalam, Suman mantak aji (merapal guna-guna) menggelembuk (merayu) kakak iparnya itu agar melimpahkan kekuasaan kepada putranya karena Pandawa telah sirna. Gendari pun merajuki demi masa depan keturunannya.
Drestarastra jadi kehilangan kawaskithan (ketajaman batin). Ia terbujuk rayu istri dan Suman sehingga dengan mudahnya melepaskan kekuasaan dan menobatkan putra sulungnya, Jaka Pitana, menjadi raja muda bergelar Prabu Duryudana.
Tapi, betapa kagetnya Drestarastra setelah mendengar kabar bahwa Kunti dan lima putranya yang sebelumnya diberitakan tewas ternyata selamat dan sehat walafiat. Perasaan bersalah membelenggu hatinya dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Suman menyarankan Drestarastra tidak gundah-gulana. Sabda pendhita ratu tan kena wola-wali, apa yang sudah terucap dan diputuskan tidak bisa dianulir. Dengan kata lain keputusannya final dan mengikat. Jaka Pitana tetap sah menjadi raja.
Resi Bhisma yang mendengar keanehan dinamika politik di negerinya itu tidak tinggal diam. Ahli waris sejati takhta Astina yang tinggal di Talkanda tersebut lalu mengurai dan mengadili. Disimpulkan bahwa ontran-ontran didalangi Suman.
Bhisma menjatuhkan sanksi moral kepada Suman berupa teguran serius. Namun, Suman bertahan sebagai patih karena jabatannya itu keputusan raja sebelumnya, Pandu, yang tidak bisa diubah. Terpidana diharuskan memperbaiki perilakunya.
Tetap berkreasi
Keputusan lainnya, Bhisma mewakafkan sebagian wilayah Astina yang masih berupa hutan kepada Pandawa. Puntadewa dan adiknya dipersilakan membangun tempat tinggal di wilayah tersebut. Kurawa siap membantu tapi ditolak Bratasena.
Singkat cerita, Pandawa sukses mendirikan rumah dengan berswasembada yang kemudian menjelma menjadi istana Indraprastha alias Amarta. Dengan demikian diharapkan tidak ada permusuhan antara Pandawa dan Kurawa berebut kekuasaan.
Ternyata ceritanya lain. Suman masih mendam ‘berkreasi’ karena selama Pandawa masih hidup, takhta Duryudana tidak aman. Inilah kisah ‘akal-ukil’ (akal-akalan) seorang paman demi keponakan menggenggam kekuasaan.