Ono Sarwono (Kader NasDem)
ADA pesan mulia Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh terkait dengan Pemilu 2024 di depan kader sebelum mendaftarkan caleg ke KPU. Di antaranya, sambut kontestasi dengan kehangatan, kedepankan persahabatan, jangan memfitnah dan menghancurkan lawan.
Berkompetisi dengan sikap demikian itu merupakan cermin watak kesatria. Wanti-wanti tersebut memang ditujukan kepada kader NasDem, tapi tentu akan lebih baik bila semua kompetitor pemilu juga bersikap seperti itu sehingga tercipta politik penuh persaudaraan.
Dalam cerita wayang, gambaran berkompetisi berwatak kesatria dicontohkan oleh Narasoma ketika mengikuti sayembara Kunti. Ia tidak semata ingin menang dan memboyong putri kedaton tetapi berkontribusi menciptakan kompetisi yang elok.
Menolak perintah
Narasoma ialah sulung dari dua bersaudara putra Raja Negara Mandaraka Prabu Mandrapati dengan permaisuri Dewi Tejawati. Adiknya bernama Madrim. Sejak kecil, Narasoma sudah berkepribadian mandiri, selain pintar dan cerdik.
Sebagai putra lelaki satu-satunya, Narasoma digadang-gadang ayahnda sebagai penggantinya kelak. Oleh karena itu, sejak dini orangtuanya sudah mempersiapkan segala macam prasyarat sebagai bekal menjadi pemimpin pada masa depan.
Namun, sang anak tidak suka menjalani berbagai program pendidikan magang raja. Ia ingin bebas menikmati masa kecil dan remaja dengan banyak bermain. Sesekali keluar dari istana berbaur dan bercengkerama dengan anak-anak sebaya.
Sikap menolak saran dan kehendak orangtua berlanjut hingga menjelang dewasa. Tentu saja ini mengkhawatirkan Mandrapati yang semakin sepuh. Terbayang masa depan Mandaraka yang tidak menentu jika tidak ada pemimpin dari trahnya.
Pada suatu hari, Mandrapati memanggil Narasoma menghadap. Tidak ada pilihan selain memaksa putranya agar bersedia dinobatkan sebagai raja muda. Calon permaisuri pun sudah disiapkan. Tapi Narasoma keras kepala, menolak semuanya.
Pada titik itu, kesabaran Mandrapati habis. Narasoma disebut anak durhaka karena menentang setiap saran dan keinginan orang yang mengukir jiwa raganya. Dalam kemarahan memuncak, anaknya dipersilakan memilih, manut atau minggat.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Narasoma bangkit dari duduk bersilanya dan pergi tanpa pamit. Para nayaka praja terperajat dan murung. Patih Tuhayata mengingatkan raja agar sabar, bagaimanapun Narasoma darah dagingnya sendiri.
Seketika Mandrapati luruh hatinya dan menyesali apa yang telah terjadi. Buru-buru patih diperintah menyusul putranya dan mengajak kembali ke istana. Tuhayata berhasil menyusul, namun gagal membujuk pangeran muda itu pulang.
Malah, badan Tuhayata lebam-lebam karena dipukuli dan ditendang Narasoma. Itu akibat patih sempat mengancam menggunakan kekerasan bila tidak menuruti raja. Beruntung warangka dalem itu piawai melindungi diri sehingga luput dari cedera lebih parah.
Sayembara Kunti
Tanpa bekal yang cukup, Narasoma pergi tanpa tujuan. Langkah kakinya hanya mengikuti kehendak hati. Makan seadanya dan menginap di sembarang tempat. Tidak banyak yang mengetahui bila ia putra raja Mandaraka.
Singkat cerita dalam pengembarannya, ia jatuh hati kepada wanita dari Pertapaan Argabelah, Setyawati, yang kemudian mendjadi istrinya. Narasoma mendapat warisan piandel (pusaka) dari mertua, Resi Bagaspati, berupa aji candrabirawa.
Pada suatu ketika, Narasoma tergerak hatinya mengikuti sayembara Kunti di Negara Mandura. Peserta perlombaan ini dikhususkan bagi para kesatria. Pemenangnya berhak memboyong sekar kedaton, yaitu Kunti alias Prita.
Banyak kesatria yang terjun ke gelanggang adu kesaktian. Tidak sedikit peserta luka serius hingga tewas karena antarkompetitor diliputi kebencian. Barangkali itu bagian dari unjuk kesaktian mereka sehingga lawan berikutnya gentar dan mundur.
Tampilnya Narasoma menjadikan kompetisi bersih dan humanis. Tiada kebencian serta tidak perlu ada yang sampai meninggal. Kesatria dari Mandaraka ini ingin menang tapi tidak perlu mencederai lawan. Menang dengan cara terhormat.
Satu persatu pesaing Narasoma angkat tangan. Tidak ada yang kuat menghadapi candrabirawa. Ajian ini berupa buta kerdil yang bila dilawan malah membelah diri sehingga bertambah banyak. Buta-buta itu mengeroyok sasaran sampai menyerah.
Pada akhirnya, tidak ada lagi peserta yang tersisa. Raja Mandura Prabu Basukunti sejujurnya tidak puas Narasoma pemenangnya. Kunti pun merasa tidak gembira. Tapi, tiada ingkar janji, pemenang berhak memboyong sekar kedaton.
Sesungguhnya Narasoma berkompetisi bukan karena kepincut keayuan Kunti. Di depan mertuanya, ia telah berjanji takkan menduakan Setyawati. Keikutsertaannya dalam perlombaan itu lebih untuk menjajal kesaktian candrabirawa.
Setelah dinyatakan sebagai pemenang, tiba-tiba datang kesatria dari Astina, putra kedua Prabu Kresnadwipayana, bernama Pandu. Semula lelaki berpembawaan tenang dan kalem itu ingin mengikuti sayembara, tapi terlambat tiba.
Pandu, kesatria yang sesungguhnya ditunggu-tunggu Basukunti, kemudian balik kanan bermaksud pulang karena sayembara telah usai. Mendadak Narasoma lari menghampiri dan menantang, silakan boyong Kunti bila bisa mengalahkan dirinya.
Kemenangan terhormat
Keseriusan dan ketulusan Narasoma membuat Pandu bersedia menjajal. Maka terjadilah adu kesaktian sengit yang membuat sentana dalem, nayaka praja dan rakyat Mandura terkagum-kaum kepada kedua kesatria hebat tersebut.
Candrabirawa yang dijadikan pusaka pamungkas Narasoma tidak berkutik. Buta-buta kerdil yang biasanya ganas itu ketakutan menghadapi Pandu. Narasoma mengaku kalah dan menyerahkan Kunti. Malah, Madrim, juga dipasrahkan. Demikian kisah singkat watak Narasoma dalam panggung perlombaan. Ia tidak ingin menang dengan membuat lawan meradang dan kehilangan harga diri. Prinsipnya, setiap kemenangan mesti terhormat dan tanpa merusak persaudaraan.