Bulan Ramadhan menjadi bulan yang paling dinanti bagi umat muslim diseluruh dunia tanpa terkecuali, termasuk Indonesia. Karena di bulan ini terdapat banyak sekali kemurahan yang diberikan oleh Allah SWt kepada umat Muslim yang menjalankan puasa, banyak keutaman-keutaman amalan yang bila diamalkan di bulan ini pahalanya menjadi berlipat ganda, bahkan kita tidur sekalipun itu dihitung mendapatkan pahala, saking istimewanya bulan ini. Namun, dalam ulasan kali ini kita tidak akan lebih dalam mengulik soal itu, melainkan lebih kepada sisi unik umat Muslim di Indonesia lebih tepatnya lagi Jawa Tengah yang mempunyai aneka ragam tradisi dalam menyambut bulan Ramadhan.
Dugderan
Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Pati, tradisi yang satu ini berasal dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Tradisi ini biasanya digelar sekitar 1-2 minggu sebelum dimulai puasa Ramadhan.
Tradisi Dugderan berasal dari kata “Dug” dan “Der”, kata “Dug” berasal dari suara bedug masjid yang ditabuh. Sedangkan, kata “Der” berasal dari suara dentuman meriam yang dinyalakan. Oleh sebab itu, ketika tradisi ini digelar, maka bedug masjid ditabuh bersamaan dengan suara dentuman meriam.
Seiring dengan perkembangan zaman, meriam digantikan dengan petasan atau bledur (batang pohon yang dilubangi dan diisi karbit). Saat ini, tradisi Dugderan mulai berkembang menjadi semacam pesta rakyat. Sehingga, terdapat berbagai macam kegiatan seperti, pentas tari japin, arak-arakan (karnaval), bahkan tabuh bedug bersama Walikota Semarang.
Gebyuran Bustaman
Dikutip dari situs resmi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, seperti namanya, tradisi ini terdapat di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah. Tradisi Gebyuran Bustaman menjadi salah satu tradisi menyambut puasa Ramadhan yang masing ada hingga saat ini.
Ternyata, tradisi ini muncul dari kebiasaan Kyai Bustam yang memandikan cucunya di sumur sebelum puasa Ramadhan. Sehingga, hal tersebut menjadi budaya turun temurun di Kampung Bustaman.
Sebelum acara Gebyuran dimulai, terdapat tanda pemukulan kentongan setelah ashar, lalu dilanjutkan acara perang air hingga menjelang maghrib. Sejak tahun 2013, terdapat acara tambahan berupa air yang dicampur bubuk warna-warni, lalu dimasukkan dalam plastik.
“Gebyuran” bermakna sebagai penghapus dosa selama satu tahun dengan simbol mencorengkan bedak cair di wajah. Kemudian, siraman air tersebut harus membasahi seluruh masyarakat hingga kuyup dan bedak cair tersebut telah hilang.
Tradisi unik di Kampung Bustaman ini, biasanya diakhiri dengan acara doa dan makan nasi gudangan Bersama.
Padusan
Tradisi menjelang puasa Ramadhan bagi masyarakat Jawa yang pertama yakni Padusan. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat sekitar Klaten, Boyolali, Salatiga, bahkan Yogyakarta.
Padusan merupakan kegiatan berendam atau mandi di sumur maupun sumber mata air sebagai bentuk upacara. Tradisi Padusan biasanya dilakukan di tempat yang keramat atau terhormat, itulah yang menjadi keunikan.
Sadranan
Masih mengutip dari sumber yang sama, Sadranan atau Nyadran berasal dari kata “sodrun” yang berarti tidak waras (gila). Kata tersebut berasal dari tradisi masyarakat zaman dahulu yang menyembah pohon, batu, ataupun binatang dengan membawa sesaji berupa makanan.
Selanjutnya, kebiasaan yang dianggap tidak benar tersebut diluruskan oleh para Wali Songo. Sehingga, sejak saat itu tradisi Nyadran digelar untuk menyembah Allah SWT.
Sadranan diawali dengan kegiatan berdoa bersama (tahlil), lalu dilanjutkan dengan acara makan bersama (kenduri). Selain itu, terdapat suatu keunikan yakni, masyarakat membawa makanan masing-masing berupa makanan tradisional (ayam ingkung, mangut, urap, baceman, dll). Tradisi sadranan atau nyadran banyak terdapat dalam berbagai wilayah di Jawa Tengah.
Megengan
Tetap mengutip dari sumber sebelumnya, Megengan menjadi tradisi sebelum puasa Ramadhan di Surabaya, Jawa Timur. Berdasarkan sejarahnya, tradisi ini awalnya muncul dari kawasan sekitar Masjid Ampel. Kemudian menyebar dan dilakukan pula di Jawa Tengah.
“Megengan” berkaitan erat dengan tradisi makan apem, makanan seperti serabi yang tebal dan rasanya nyaris tawar. Kata “apem” atau “apam” berasal dari kata “afwan” yang memiliki arti “maaf” dalam bahasa Arab.
Oleh sebab itu, tradisi ini dilaksanakan dengan acara tahlilan atau selamatan dengan hidangan apem yang nanti dibagi-bagikan. Dengan memakan apem, dapat menjadi tanda permintaan maaf terhadap sesama, teman, maupun kerabat.
Dandangan
Tradisi yang satu ini dapat dijumpai ketika menyambut puasa Ramadhan di Kota Kudus. “Dandangan” merupakan perayaan berupa pasar malam yang digelar di sepanjang Jalan Sunan Kudus dan sekitarnya.
Pada zaman Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), menjelang bulan puasa ratusan santri berkumpul di Masjid Menara. Seiring dengan perkembangannya, akhirnya banyak pedagang yang kemudian menjadi ramai seperti pasar malam pada umumnya.***
*Diolah dari berbagai sumber