Ditulis oleh Ono Sarwono (Sekretaris Dewan Pertimbangan DPW NasDem Jateng)
“MERDEKA!” pekik Petruk.
“Merdeka! Sekali merdeka tetap Merdeka!” saut Gareng penuh semangat.
Sementara Bagong diam seribu bahasa, tidak bereaksi apa-apa. Seolah-olah tidak mendegar suara apapun, mbudhegi (menulikan diri). Matanya malah menerawang ke langit-langit teras rumah, persis orang yang sedang melamun.
Petruk lalu beringsut dari duduknya untuk lebih dekat dengan Bagong dan kembali berseru, “Merdeka Gong (Bagong)!”
Lagi-lagi Bagong tak menjawab, malah melengos. Kebiasaan anak bungsu Semar itu memang gemar nyeleneh (aneh). Tidak ela-elu (ikut-ikutan) dan lebih suka mengambil sikap berbeda dengan orang lain tapi bertanggung jawab.
Sikap ndableg (masa bodoh) Bagong tak membuat Petruk sampai gusar. “Gong, ini hari-hari peringatan kemerdekaan. Jangan lesu seperti itu. Mari kita menikmati bersama dengan riang gembira. Semangat!”
Beberapa saat kemudian Bagong ‘siuman’ dan bergumam, “Apa-apa dipajaki, harga berbagai macam kebutuhan pokok mencekik rakyat kecil, pengangguran di mana-mana, hukum compang-camping, korupsi kian menggila. Begitu kok ‘merdeka’.”
Melihat gelagat Bagong seperti itu Gareng berkata, “Jangan ngedumel Gong. Ngomong saja yang jelas. Kalau soal utang, saya juga punya utang. Negara juga punya utang kok le (dik). Lupakan dulu utang-utangmu itu, ayo kita rayakan kemerdekaan ini.”
Mendengar perkataan Gareng, Petruk sambil tersenyum menyeletuk, “Kang, maaf ya, kalau utang itu ya utang, jangan dilupakan. Banyak maupun sedikit utang itu harus dilunasi sesuai dengan janjinya.”
Adapun Bagong tertawa geli menyikapi omongan Gareng yang menyebut-nyebut utang. Tapi, itu dimaklumi karena dirinya memang tidak bicara dengan jelas. “Siapa yang ngomong utang?” katanya dalam hati.
Saat itu Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berkumpul di rumah Semar Badranaya di Dusun Klampisireng. Karena bertepatan dengan suasana peringatan proklamasi kemerdekaan, isu itulah yang menjadi ‘topik utama’ obrolan mereka.
Dusun Klampisireng yang sehari-harinya asri, pada bulan ini tampak lebih meriah. Di depan setiap rumah berkibar bendera ‘gula-kelapa’. Begitu juga di gang-gang dan sepanjang jalan, selain bendera, berjejer-jejer umbul-umbul bernuansa merah putih.
Penasaran dengan sikap Bagong, Petruk mendesak adiknya bicara terus terang apa yang sedang dipikirkan tentang kemerdekaan. “Ayo Gong, bicara terbuka saja. Saya siap mendengarkan. Saya akui, mengenai hal-hal tertentu kamu biasanya mletik (cerdas).”
“Mletik ketitik ala ketara,” ujar Bagong nyengir memelesetkan peribahasa Jawa.
“Ngawur! Yang benar itu Becik ketitik ala ketara (baik buruk ketahuan),” sergah Gareng bersungut-sungut.
Watak Gareng dan Bagong memang bertolak belakang. Gareng biasa keras kepala dan serius, sedangkan Bagong suka cengengesan (bercanda). Adapun Petruk, tipe pribadi yang cair atau fleksibel dan suka berdiskusi.
Bagong lalu bertanya kepada Petruk, apa yang dimaksud merdeka. Dalam konteks kebangsaan, kata Petruk, merdeka itu artinya lepas dari segala bentuk penjajahan dan bebas menentukan nasibnya sendiri. “Begitu Gong. Adakah yang salah?”
Menurut Bagong, arti merdeka seperti itu tepat pada saat awal-awal kemerdekaan. Tapi, merdeka pada saat ini mesti dimaknai lebih luas sesuai dengan jaman sekarang. “Jadi, bagi saya, kita belum merdeka. Belum merdeka penuh!”
“Maksudmu bagaimana Gong?” kejar Gareng yang sejak tadi menyimak.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaannya atas kemajuan negara yang telah dicapai, Bagong menggarisbawahi bahwa keadilan dan kemakmuran belum merata. Masih banyak rakyat yang melarat. Ini membahayakan persatuan bangsa.
Tiba-tiba diskusi Panakawan terhenti saat terdengar suasana riang gembira anak-anak berkarnaval melewati jalan sebelah barat rumah. Mereka berekspresi dengan kreativitas masing-masing. Adat indah yang terpelihara setiap memperingati hari kemerdekaan.
Bersamaan dengan itu, Semar keluar dari pintu depan dan membersamai anaknya duduk di lincak beralaskan tikar pandan. Beberapa kutilang yang bertengger di dahan pohon belimbing berkicau bersautan serasa ikut menikmati kegembiraan.
Sejenak setelah keramaian karnaval berlalu, Semar bertanya kepada anak-anaknya sedang membicarakan apa. “Tumben terdengar dari dalam rumah begitu serius.”
“Bicara utang pak,” ujar Bagong.
“Bukan…bukan rama. Ini bicara terkait dengan kemerdekaan,” terang Petruk. “Maaf rama. Kalau boleh bertanya, menurut rama, apa arti atau makna memperingati hari proklamasi kemerdekaan?”
Semar mengatakan setiap kali kita memperingati hari kemerdekaan seyogianya bukan sekadar atau sebatas mengenang tetapi harus dijadikan momentum refleksi. Apa yang sudah kita lakukan sampai hari ini untuk mewujudkan harapan mulia kemerdekaan.
Terutama bagi para elite dan pemimpin di semua tingkatan yang mendapat amanah rakyat. Cita-cita para pendiri bangsa yang telah mengorbankan segalanya harus dijadikan roh perjuangan membangun bangsa dan negara, yaitu menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.
“Bukan malah berlomba-lomba seenaknya sendiri ya, pak. Nggak peka terhadap penderitaan rakyat!” ujar Bagong.
Petruk berkomentar, “Jangan menyela-nyela dulu ta Gong. Plis (please) deh.”
Semar mengakui berdasarkan fakta tidak sedikit elite, pemimpin, dan komponen bangsa yang tidak memiliki visi kebangsaan. Berfoya-foya di tengah kesusahan rakyat. Jabatan atau kedudukan dinikmati sebagai sarana memenuhi nafsu pribadi.
Menurut Semar, apabila semua eling (ingat) dan bersedia meneladani perjuangan para pendiri bangsa dan pahlawan, maka keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan pasti cepat terwujud. “Kultur kita gotong-royong, kebersamaan. Mari kita berjuang bersama untuk kita semua.”
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Tak terasa hari sudah siang. Panakawan membubarkan diri dari acara obrolan untuk bersiap melaksanakan ibadah. ***