Ditulis oleh Ono Sarwono (Sekretaris Dewan Pertimbangan DPW NasDem Jateng)
BEREDAR di media sosial foto pemimpin tertinggi ormas Islam Muhammadiyah, Haedar Nashir, tampak membawa kardus oleh-oleh setelah bepergian. Banyak yang memuji kesederhanaannya. Sesungguhnya, beliau memang pribadi bersahaja.
Sebelum Haedar, kita mengenal sejumlah pemimpin Muhammadiyah yang amat sederhana dan begitu humble (rendah hati). Mereka orang-orang hebat yang pantas menjadi teladan. Di antaranya Abdur Rozak Fachrudin dan Ahmad Syafii Maarif.
Pemimpin besar yang berkepribadian sederhana dan rendah hati demikian itu mirip Puntadewa, tokoh dalam dunia wayang. Raja yang penampilan dan perilakunya tak seperti umumnya penguasa yang bermahkota dan mengenakan pakaian kebesaran.
Watak welas asih
Puntadewa ialah putra sulung Raja Negara Astina Prabu Pandu Dewanata dengan permaisuri Kunti Talibrata. Adik kandungnya dua, Werkudara dan Arjuna. Adapun Nakula dan Sadewa adik lain ibu, putra kembar Madrim. Mereka disebut Pandawa.
Sejak kecil Puntadewa sudah suka membaca kitab suci dan menjalani laku prihatin dengan berpuasa atau meper (mengendalikan) hawa nafsu. Kebetulan dianugerahi kecerdasan intelektual sehingga dengan cepat memahami apa pun yang dipelajari.
Barangkali wataknya menurun dari kakeknya, Begawan Abiyasa. Eyang dari garis ayahnya itu titah berwatak mulia yang kesalehannya mengalahkan para dewa di kahyangan. Resi agung yang namanya terang menyinari jagat raya.
Kakek buyutnya, Palasara, juga seorang resi ternama. Satu hal yang menonjol pada petapa di Sapta Arga itu cinta kasihnya terhadap sesama. Selain itu, lelaki yang awet tampan hingga manula itu memiliki keahlian menyembuhkan segala penyakit.
Sedangkan kakek dari garis ibu, Puntadewa ialah cucu Raja Negara Mandura Prabu Basukunti yang dikenal sebagai penguasa arif bijaksana dan suka menolong. Adapun eyang buyutnya, Prabu Wasukunteya, kondang sebagai raja sangat adil.
Jadi, dari garis para leluhurnya, Puntadewa itu trahing kusuma rembesing madu, wijining sutapa, tedhaking andana warih (keturunan bangsawan, ulama, dan pahlawan). Mengalir dalam darahnya perpaduan jiwa kesatria dengan orang suci.
Oleh karena itu, tidak aneh bila laku hidup Puntadewa itu kesatria yang berjiwa ulama. Kesatria memerangi kezaliman demi menegakkan keadilan, sedangkan ulama menyiarkan pesan-pesan ketuhanan lewat ucapan dan tindak-tanduk.
Demikian itu pula watak kepemimpinan Puntadewa ketika diamanahi menjadi raja negara Amarta alias Indraprastha. Mirip-mirip Abiyasa kala memimpin Astina bergelar Prabu Kresna Dwipayana. Penguasa yang ‘bersajadahkan’ watak suci.
Kelebihan lainnya, meski kasinungan (memiliki) kesaktian luar biasa, Puntadewa tidak jemawa tapi lemah lembut dan antikekerasan. Kepemimpinannya welas asih (kasih sayang) dan senyum yang tulus. Maka, siapapun bisa patuh tanpa paksaan.
Sikap itulah menjadikan tidak ada seorang pun yang membenci, sebaliknya semua yang dikenal menjadi pengagumnya. Dari situlah ia dijuluki Ajatasatru, yang artinya tidak memiliki musuh. Itu sejalan dengan predikatnya titah berdarah putih.
Diuji Bathara Darma
Dalam hal penampilan, baik saat pasewakan agung (pertemuan besar kenegaraan) maupun sehari-hari, Puntadewa berpakaian biasa. Tidak pernah mengenakan kuluk (mahkota) dan juga tak berpakaian raja. Sekadar asesori di jarinya pun tidak ada.
Berpribadi jujur, sopan dan santun, serta rendah hati. Bicaranya halus dan tidak pernah menyakiti perasaan orang lain. Pun lebih suka mendengar dan mengalah. Sikap yang kerap dipandang sebagai kelemahan tapi sejatinya justru kekuatan.
Dalam satu cerita, Bathara Darma pernah menguji keluhuran budi Puntadewa saat menjalani laku prihatin di Hutan Kamyaka. Ketika itu menjelang akhir dari 12 tahun Pandawa ‘dihukum’ di belantara akibat kalah main dadu melawan Kurawa.
Dewa Kebajikan itu menyamar sebagai gandarwa dan menciptakan telaga yang airnya bening dan tampak menyegarkan. Empat adik Puntadewa, yaitu Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa yang kehausan, tidak sabar meminum air danau.
Ternyata airnya beracun. Empat kesatria itu tiba-tiba jatuh tersungkur dengan sekujur tubuh membiru. Puntadewa luput dari petaka karena tidak grusa-grusu ikut meminum. Gandarwa, yang mengaku sebagai penguasa telaga, menemuinya.
Dengan rendah hati Puntadewa meminta bantuan gandarwa agar menghidupkan kembali adik-adiknya. Makhluk halus itu mengaku hanya bisa mengembalikan satu nyawa di antara keempatnya. Puntadewa diminta memilih siapa namanya.
Butuh sementara waktu sulung Pandawa menenangkan batin. Lalu dikatakan bahwa jika tidak bisa semua, ia memilih satu di antara anak kembar Madrim. Alasannya, agar adil karena Pandu memiliki dua istri, Kunti dan Madrim.
Gandarwa kemudian berubah wujud Bathara Darma. Dipeluklah Puntadewa sebagai apresiasi sikapnya yang terpuji. Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa akhirnya dihidupkan kembali. Darma lalu menghilang kembali ke kahyangan.
Inspirasi keteladanan
Bathara Darma kembali mengejawantah menguji kualitas jiwa Puntadewa dalam lakon Pandawa Muksa. Ini kisah ketika Pandawa yang merasa tugasnya di marcapada paripurna lalu pergi meninggalkan istana menjemput kematiannya.
Kodratnya, empat adik Puntadewa mendahului mati. Tinggal ia ditemani seekor anjing terus berjalan hingga sampailah di pintu surga. Penjaga mempersilakan titah minim dosa itu masuk. Tapi, anjing yang menyertai dilarang ikut serta.
Puntadewa mengatakan dirinya memilih tidak masuk surga jika anjingnya tidak diperbolehkan. Seketika itu, anjing berubah menjadi Bathara Darma. Lagi-lagi Dewa Kebajikan itu memuji kemuliaan budi Puntadewa yang tulen.
Itulah gambaran singkat kepribadian Puntadewa. Bukan hanya amat sederhana dalam penampilan luar tetapi juga bersih dalamnya (jiwanya). Hidup dinikmati sebagai laku darma, meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dari sudut itu, Puntadewa bisa menjadi inspirasi keteladanan pemimpin. Bukan hanya kesederhanaan lahiriah melainkan juga keluhuran budinya. ***