JATENG.NASDEM.ID – Menjelang Pemilihan Umum (pemilu) tahun 2024, para kandidat yang bertarung di tataran legislatif dan eksekutif berlomba-lomba meraih suara anak muda.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih dari kalangan Gen Z dan Millenial mencapai 56,45% dari total 204.807.222 pemilih yang sudah tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Tak heran, berbagai cara dilakukan oleh para kandidat untuk berebut suara anak muda, salah satunya melalui sosial media seperti Instagram, Tiktok, hingga Facebook.
Tingginya penggunaan sosial media sebagai corong informasi oleh anak muda ini menghadirkan satu tantangan yang tak bisa dipungkiri yaitu risiko terpapar hoaks.
Berbagai informasi berupa gambar, video, bahkan informasi tertulis dapat diolah sedemikian rupa dengan tujuan untuk merugikan salah satu golongan. Terlebih lagi, hoaks meningkat pesat hingga enam kali lipat menjelang pelaksanaan Pemilu.
Dalam diskusi yang digelar oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) IAIN Kudus pada Selasa (31/10) lalu, Obrolan Pojok Madukoro hadir untuk mengajak para mahasiswa agar bijak bermedia.
Diskusi ini diikuti ratusan peserta yang berasal dari IAIN Kudus hingga beberapa kampus yang terletak di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Demak.
Hoaks sendiri diklasifikasikan menjadi tujuh jenis di antaranya adalah satire, misleading content, imposter content, fabricated content, false connection, false context, dan manipulated content.
Untuk mendetaksi risiko hoaks dari sebuah berita, gambar, berita, atau video, masyarakat dapat menemph langkah-langkah berupa memahami judul, mencermati alamat situs, memperhatikan sumber berita, serta memanfaatkan mesin pencari, serta mengecek keaslian berita di Google.
Selain itu masyarakat bisa memanfaatkan situs resmi seperti cekfakta.com, kominfo.go.id, dan website lain yang ditujukan untuk mengecek kebenaran berita.
Diskusi ini juga mengundang pemerhati politik perempuan serta akademisi Siti Malaikha Dewi, serta Wakil Gubernur Jawa Tengah 2018-2023 Taj Yasin Maimoen.
Dalam pemaparannya, Malikha mengungkapkan bahwa perempuan mengalami berbagai tantangan dalam menempuh karier politiknya. Hal ini tak bisa dipisahkan dari budaya patriarkis yang masih dipegang erat oleh masyarakat Indonesia.
Menurutnya, meskipun Indonesia telah menerapkan affirmative action berupa keterlibatan 30% perempuan dalam surat suara, namun hal ini masih saja menemui berbagai kendala.
Salah satu fenomena yang saat ini kerap ditemui adalah perempuan yang hanya menjadi “penggenap” dalam surat suara untuk memenuhi kuota 30% perempuan seperti yang ditetapkan oleh KPU.
Sementara itu, Taj Yasin Maimoen mengungkapkan di tengah derasnya arus media ini, ia mendorong agar mahasiswa makin awas dan cerdas dalam memilih para calon pemimpin.
Ia Yakin bahwa intelektualitas mahasiswa menjadi salah satu bekal dalam memilih pemimpin yang tepat dengan memperhatikan rekam jejak dan kinerjanya.